Narasi Perspektif KH Imaduddin Utsman Al-Bantani dan KH Munji Tamam tentang Reuni 212
Reuni 212 yang digelar belum lama ini menuai perhatian berbagai pihak, termasuk para ulama terkemuka seperti KH Imaduddin Utsman Al-Bantani dan KH Munji Tamam. Keduanya memberikan pandangan mendalam terkait fenomena ini dalam sebuah diskusi yang dipandu oleh Gus Fuad di kanal YouTube-nya.
Pandangan KH Imaduddin Utsman Al-Bantani
Menurut KH Imaduddin, roh dan semangat awal dari gerakan 212 sudah luntur. Reuni tersebut, kata beliau, tidak lagi menjadi ajang persatuan lintas elemen seperti masa lalu, melainkan lebih merepresentasikan agenda tertentu, terutama dari para pendukung ideologi Khilafah.
Beliau menyoroti kehadiran atribut dan simbol HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dalam acara tersebut, seperti bendera hitam dan putih bertuliskan kalimat tauhid. Menurutnya, meskipun organisasi HTI telah dibubarkan secara resmi oleh pemerintah, para pengusung ideologi Khilafah masih menunjukkan eksistensi mereka.
Selain itu, KH Imaduddin juga mencermati adanya upaya dari kelompok politik tertentu, seperti PKS, untuk memanfaatkan momen ini demi tujuan politik praktis. Isu agama, kata beliau, berpotensi kembali dikapitalisasi dalam konteks pemilu, termasuk Pilkada Jakarta mendatang.
Beliau menegaskan bahwa negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila sudah memenuhi kriteria sebagai negara yang “syar’i.” Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, negara adalah wasilah atau sarana untuk mencapai kemaslahatan dunia dan akhirat, tanpa harus diformalisasi menjadi negara Islam secara struktural.
Pandangan KH Munji Tamam
Sementara itu, KH Munji Tamam memberikan pandangan yang lebih kolektif dan filosofis. Beliau mencatat bahwa semangat reuni 212 tidak lagi sekuat sebelumnya. Bahkan, beliau melihat bahwa energi dari para tokoh utamanya, seperti Rizieq Shihab, terlihat lesu, dan jumlah peserta pun berkurang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
KH Munji Tamam menyoroti pentingnya nilai-nilai etik universal dalam bernegara. Menurutnya, Pancasila sebagai dasar negara sudah mampu menghimpun nilai-nilai luhur dari berbagai agama yang ada di Indonesia. Dengan pendekatan seperti itu, Indonesia dapat membangun sistem hukum dan pemerintahan yang inklusif, tanpa harus memaksakan tafsir agama tertentu sebagai dasar formal negara.
Beliau juga mengutip konsep Gus Dur tentang bagaimana agama-agama bisa memberikan kontribusi pada negara melalui nilai-nilai universal seperti keadilan, kemanusiaan, dan kesetaraan. Baginya, negara bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai kemaslahatan bersama.