Pendahuluan
Orang yang hidupnya pernah di pesantren sudah pasti mengenal cara memaknai kitab kuning, ada yang menamainya dengan ngelogat, ada juga menyebutnya dengan istilah nyoret. Istilah tersebut lumrah dikenal di pondok pesantren di seluruh Indonesia. Maka setiap pesantren selalu diidentikan ngaji kitab kuning dan kitab kuning identik dengan santri, dari dulu hingga sekarang.
Pesantren itu lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, membentuk akhlak yang baik, dan istiqomah membimbing ke jalan yang benar. Siapa yang belajar di pesantren, maka itulah yang disebut santri.
Pengertian Pesantren
KH. Abdurahman Wahid, telah menggambarkan pesantren sebagai sub-kultur tersendiri dikarenakan ciri-ciri yang dimiliki pondok pesantren tidak ditemukan di tempat lain. Sehingga lembaga pemerintah perlu untuk mendorong dan bersinergi menyiapkan kesetaraan regulasi, kesetaraan program, dan kesetaraan anggaran, agar pesantren tidak melulu ketinggalan dengan lembaga negara lainnya.
Zamakhsari Dhofier, juga telah menjelaskan bahwa pondok pesantren adalah lembaga sosial pendidikan agama Islam yang bersifat tradisional yang dipergunakan untuk mendidik dan mengajari para santri (orang yang tinggal di pesantren) sampai benar-benar menjadi manusia yang berakhlak mulia.
Dua pengertian pesantren yang dijelaskan di atas, ini dimaksud jadi petunjuk awal, bahwa yang disebut pesantren itu tempat menuntut ilmu, objek yang jadi pusat pembelajaran itu kitab kuning, adapun subjeknya adalah kiai dan santri. Tidaklah disebut pesantren jika bukan kitab kuning yang dikaji.
Kitab Kuning
Lalu kitab kuning itu apa ? Kitab kuning, dalam pendidikan agama Islam, merujuk kepada kitab-kitab tradisional yang berisi pelajaran-pelajaran agama Islam (dirasah al-Islamiyyah) yang diajarkan pada pondok-pondok pesantren, mulai dari fiqh, aqidah, akhlaq, tata bahasa arab (ilmu nahwu dan ilmu sharaf), hadits, tafsir, ilmu Al-Qur’an, hingga pada ilmu sosial dan kemasyarakatan (mu’amalah).
Kitab Kuning juga dikenal dengan kitab gundul karena memang tidak memiliki harakat seperti fathah, kasrah, dhammah, sukun, dan sebagainya. Oleh sebab itu untuk bisa membaca kitab kuning diperlukan pemahaman atas nahwu dan sharaf, sebagai awal yang dikaji oleh santri.
Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren telah didefinisikan bahwa kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren.
Sebagai sistem pengetahuan di pesantren, eksistensi kitab kuning sudah ada sejak abad 1-2 Hijriyah yang kemudian berkembang hingga sekarang. Tradisi literasi keislaman ini mampu tetap bertahan sebab ia memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas.
Kode Makna
Sudah menjadi tradisi di pesantren yang diajarkan adalah kitab-kitab kuning yang berisi ilmu-ilmu agama Islam, tentang sejarah, tentang nasihat agama, akhlak, pengobatan, rumusan wafaq, falaq dan lain sebagainya, isinya luas dan komprehensif.
Kode dalam memaknai kitab itu dimaksud untuk menjelaskan kedudukan lafadz dan artinya. Berikut ini saya susun kode-kode makna dan kedudukannya lafadz tersebut.
Balik Dhomir
Dalam memaknai kitab kuning tentu rentetan lafadz Arab yang tersusun menjadi Kalam lalu menjadi jumlah hingga menjadi fashal atau bab. Biasanya ada dhomir baik dhomir bariz maupun dhomir mustatir, keduanya bisa munfashil atau muttashil, dhomir tersebut yang nempel di lafadz tertentu yang dimaksud kembali ke lafadz pertama. Orang pesantren biasanya menyebutnya balik dhomir.
Kode balik dhomir ini sebenarnya bebas dengan kode apa saja, yang penting akur antara domir akhir dengan dhomir di awal, sebab ini yang menyulitkan hingga salah paham. Dengan demikian harus ada akurasi dhomir di depan dengan dhomir di belakang, meski jauh-jauhan terkadang jika salah, maka terjadi keliru pahamnya.
Inilah kode dhomir baik yang timbul (bariz) maupun yang tersimpan (mustatir), yaitu.
-١
-١١
-٦
-٦١
Atau kode-kode lainnya yang bisa dimengerti, yang dimaksud agar balik dhomir bisa benar dan akur.
Penutup
Kode makna yang disesuaikan kedudukan lafadznya itu menjadi petunjuk untuk memahami alur narasi (balaghah) dalam susunan Kalam atau jumlah Kalam di kitab kuning, jika memaknai kitab kuning dengan cara seperti di atas tidak lain untuk memudahkan paham, karena jika diartikan secara terjemah, hasilnya akan berbeda. Bahkan jauh dari apa yang dimaksud oleh mushonif atau muallif kitab tersebut.
Serang, 5 Mei 2023
Oleh: Kiai Hamdan Suhaemi
Wakil Ketua PW GP Ansor Banten
Ketua PW Rijalul Ansor Banten
Idaroh Wustho Jatman Banten
Sekretaris Komisi HAUB MUI Banten
Penasihat DPD Granat Provinsi Banten
Anggota FKUB Provinsi Banten