Penulis: Kgm. Rifky Zulkarnaen
Tanggal 18 Februari 2025 Al Mukarrom Bang Haji Rhoma Irama (bangaji) datang di acara Dakwah Sphere LDNU. Acara tersebut disiarkan secara langsung (live) di YouTube TVNU. Sambil tiduran penulis menonton live tersebut tepat pada saat acara selesai disiarkan.
Dua catatan penulis.
Pertama. Sepertinya si Habib Cucu Yuya Dukun Firaun itu bukan undangan resmi. Ini terlihat di cover live Dakwah Sphere di mana di situ foto bangaji ada sedangkan foto si Habib tidak ada. Penulis tidak tahu siapa sosok berpeci hitam tepat di samping ibu-ibu. Apakah ia si habib itu atau bukan. Sepengamatan penulis, bukan. Oleh sebab itu, penulis menyimpulkan sosok berpeci hitam itu bukan si Habib dan si Habib bukan orang yang diundang secara resmi. Tentu, kalau ada orang mau datang, lalu bilang ‘saya mau ikut sharing’ mungkin masih sulit bagi LDNU untuk mengatakan tidak karena ewuh-pakewuh. Atau entah bagaimana persis detail prosesnya, silakan diriset ulang.
Di Padasuka TV, Panitia Dakwah Sphere mengatakan ‘siapa saja boleh datang, tidak perlu undangan khusus, sebenarnya’. Penulis tidak tahu persisnya apa maksudnya sampai dirasa perlu mengungkap itu. Tapi mungkin si Habib itu yang dimaksud sebagai pihak yang siapa saja boleh datang tanpa undangan khusus. Mungkin realitasnya begini: Bangaji memang diundang, kalau si habib gak diundang tapi datang, ya tidak apa-apa. Dugaan penulis begitu. Tetapi monggo diriset ulang.
Kedua. Bangaji bahas nasab remang-remang lantas tersedu-sedu. Pada saat menonton itu penulis memprediksi scene itu akan agak ramai di-up oleh pelaku medsos. Prediksi penulis, ramainya bukan dengan framing licik ‘Rhoma Irama telah sadar, telah bertobat, minta maaf ke Habib dan kembali mengakui nasab Habib’ atau dengan kalimat lain senada itu. Ternyata, di luar prediksi penulis, Habib dan budaknya memelintir seperti itu. Bisa-bisanya dan tega-teganya memelintir bahasa cinta bangaji. Luarbiasa jahatnya.
Orang yang menonton utuh dan mengerti konteks, akan mengerti bahwa air mata bangaji itu ungkapan gerak emosi dan pikiran ‘aku sungguh-sungguh tahu ini menyakitimu dan aku sungguh-sungguh tak ingin menyakitimu, namun tetap harus kulakukan karena inilah yang benar dan baik’. Air mata bangaji itu bahasa cinta kepada orang yang disayanginya. Sayang seribu sayang, bahasa cinta bangaji dikhianati Klan Habib Baalwi.
Pada scene bangaji, tidak satu pun ada ucapan maaf dari bangaji tentang statementnya yang haqqul yaqin bahwa Habib bukan dzurriyah Nabi. Sekali pun ada ucapan maaf—faktanya tidak ada—ini hanya andai ada, itu pun bukan permohonan maaf yang menyatakan pengakuan statementnya salah.
Itu seperti seorang ayah yang tak tega bayinya disuntik dokter namun bayi itu harus disuntik. Sang ayah tahu suntikan itu menyakiti bayinya dan akan membuat sang bayi menangis. Sang ayah berkata sambil berkaca-kaca matanya memeluk-meluk bayinya, ‘Maaf ya, Nak, maafin ayah’. Permintaan maaf ayah di situ bukanlah ekspresi pengakuan salah. Melainkan ekspresi tidak dapat memenuhi ekspektasi si bayi yang tidak ingin mengalami sensasi sakit. Ayah tahu si bayi menginginkan ketidaksakitan, Ayah pun tahu betul jarum suntik menyakiti si bayi, tapi ayah tidak dapat memenuhinya, ayah tetap harus menyuntik si bayi karena yang baik dan benar bagi si bayi adalah disuntik meski sensasinya sakit dan membuat si bayi menangis. Jadi permohonan maaf Sang Ayah pada konteks ‘ayah melawan keinginan si bayi’.
Melihat framingan itu penulis ketawa geli, geleng-geleng kepala. Doboool dobol… Yaa baguslah… Gorengan framing kepada bangaji mengungkapkan kepada publik:
Satu, betapa liciknya Klan Habib Baalwi dan budaknya. Artinya begini: mereka tahu meaningnya bukan itu tapi diplintir demi keuntungannya. Itu licik namanya. Dua, kalau betul-betul salah mengartikan, berarti betapa bodohnya habib dan budak-budaknya. Tiga, tidak tahu meaningnya, tidak tahu mekanisme dan dinamika psikologi di balik behaviour, lalu diperlakukan sesuka hati sesuai kepentingannya semata. Pokoknya ada momen yang bisa dieksploitasi demi keuntungannya, dia eksploitasi, tak peduli halal haramnya, tak peduli suci najisnya, apa yang ia lakukan. Oportunis. Laksana serigala-serigala kelaparan. Hanya 3 (tiga) itu kemungkinannya. Ndak bisa lain.
Oleh karena hanya 3 (tiga) kemungkinan itu yang semuanya itu buruk dan jahat, penulis betul-betul memohon kepada seluruh Kyai dan aktivis-aktivis pelurusan nasab, sejarah, makam, dan hal-hal yang terkait dengan kejahatan habib kepada bangsa Pribumi Nusantara. Mohon untuk tidak mengeluarkan ucapan, gestur, dan body language yang bisa disalahpahami oleh Klan Habib Baalwi dan budaknya. Mengapa? Sebab yang kita hadapi bukan orang Nusantara melainkan Imigran Tarim Hadramaut yang sistem berpikir dan sistem nilai antara kita—Nusantara—dengan mereka diametral berbeda. Grammarnya berkebalikan.
Bangsa Nusantara kalau diunggah-ungguhi seseorang, sistem berpikir dan sistem nilai kita melihat unggah-unggah itu sebagai emas. Kita menghargai, bergembira dan bersyukur karena telah diberi emas. Berkebalikan dengan itu, pada sistem berpikir dan sistem nilai Imigran Yaman, unggah-unggah itu terbaca sebagai ikrar kelemahan, ketakberhargaan dan ketundukan kepadanya. Pada proses berikutnya setelah bacaan itu, selanjutnya terbaca pada sistem mereka sebagai bahasa pengizinan ‘engkau silakan memperlakukanku semena-mena, kau berhak menginjak-injak aku, karena engkau lebih mulia daripada aku, aku lebih rendah daripadamu’.
Jadi kalau kita berperilaku baik, sopan, santun, tawadhu, menggunakan indirect language, isyaroh-isyaroh tipis-tipis remang-remang, sanepo, ala kultur Nusantara, kepada Klan Habib Baalwi dan budaknya, itu akan bikin jiwa, hati dan perilaku mereka menjadi lebih buruk dan lebih jahat lagi. Bukankah mendidik orang berperilaku buruk dan jahat suatu kejahatan pula? Dan mendidik orang berperilaku baik dan mulia suatu kebajikan pula? Iya kan?
Maka dengan menyajikan estetika komunikasi Nusantara kepada mereka, kita telah turut serta mendidik Klan Habib Baalwi dan budaknya menjadi orang yang lebih buruk dan lebih jahat.
Jika ingin mendidik baik kepada Klan Habib Baalwi dan budaknya adalah dengan cara yang sesuai dengan sistem berpikir dan sistem nilainya. Billisani qoumihi. Anda pun tahu ada kalimat ‘orang cerdas cukup dengan isyaroh’. Itu tidak bisa untuk mereka. Klan Habib Baalwi dan budaknya terbukti orang saja bukan apalagi orang cerdas, sudah pasti bukan.
Lalu Klan Habib Baalwi dan budaknya itu makhluk apa? Framingan licik terhadap bangaji memvalidasi bahwa Klan Habib Baalwi itu memang dzahirnya orang sedang kualitas ruhaniahnya ulaaika kal-an’am bal hum adhollu. Seperti hewan ternak bahkan lebih sesat lagi.
Dengan demikian, bahasa yang sesuai dengan sistem berpikir dan sistem nilainya: pukulan dan pecutan. Itu terbukti dengan bagaimana efek dari tesis Kyai Imad dan ejekan dan celaan dari masyarakat membuat mereka berperilaku sedikit mendekati normal. Meski itu pura-pura dan terpaksa pura-pura. Sudah terbukti bahwa ngegebuki mereka itulah proven method.
Dalam pada itulah, ketika bertemu atau ketika di panggung atau satu panggung seperti yang dialami bangaji, mpun, blokosuto mawon. Tunjuk wajahnya dan katakan saja: Kamu bukan cucu nabi! Kamu pemalsu sejarah bangsa, pemalsu makam! Antek penjajah Belanda! Kamu sesat! Neraka kamu! Kamu Su’ul khotimah! Gak trimo? Ayo, buka data sekarang! Kita bicarakan kejahatan-kejahatan kalian!
Wah, kejam sekali? Telah penulis uraikan di atas. Grammar psikologis kita dan grammar psikologis mereka berkebalikan. Kejam menurut kita, kebaikan bagi mereka. Cinta menurut kita, kejahatan bagi mereka. Kalau kebaikan atau cinta Anda ingin diterima, kejamlah kepada mereka.