Melacak Jejak Tafsir Al Quran Dalam Seni Dan Tradisi Banten [1]

  • Comments: 0
  • Posted by: Kang Diens

Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani
(Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Program Studi Ilmu Al Quran dan Tafsir UIN SMH Banten, Selasa, 10 Desember 2024)

Saya diberikan tugas oleh panitia Acara Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Program Studi Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten untuk menjadi narasumber dengan judul : “Melacak Jejak Tafsir Al-Qur’an Dalam Seni dan Tradisi Banten”. Dari sana akan muncul pertanyaan: Adakah jejak-jejak Tafsir Al-Qur’an dalam seni dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Banten? Tentu pertanyaan itu akan relative mudah dijawab secara epistemologis jika definisi, klasifikasi, identifikasi  tentang seni dan tradisi Banten sebelumnya telah definitive, dan agregasi serta inventarisasinya telah dokumentatif. Dimensi temporal pula sangat penting dibatasi setelah dimensi ruang pembahasan telah diketahui.

Kata “melacak” yang diberikan di awal judul bisa dimaknai dua hal: pertama,  menandakan telah adanya informasi permulaan tentang jejak-jejak yang telah diketahui, tetapi ia memerlukan penelusuran yang  serius untuk sampai kepada kesimpulan yang konklsusif; kedua, menandakan bahwa jejak itu sendiri sebenarnya belum teridentifikasi sehingga yang perlu dilakukan pertama kali bukanlah menelusuri jejak-jejak itu, tetapi terlebih dahulu harus meyakini eksistensinya lalu mencari posisinya baru menelusurinya untuk sampai kepada kesimpulan. Bisa jadi jejak itu tidak pernah ada sehingga jangankan kita akan sampai kepada kesimpulan, sedangkan jejak-jejaknya saja tidak kita temukan.

Terlepas dari judul yang problematis di atas yang masih perlu batasan secara akademis, penulis berusaha memahami apa pokok bahasan dan maksud dari judul tersebut. Tentunya, apa yang akan penulis uraikan tidak akan terlalu lebar sehingga tidak memerlukan ruang yang banyak.

Living Qur’an Sebagai Kajian Tafsir Modern

Living Al-Qur’an adalah Pendekatan baru dalam kajian Ilmu Tafsir. Yaitu ilmu untuk mengilmiyahkan fenomena-fenomena atau gejala-gejala Al-Qur’an yang ada di tengah kehidupan manusia (Ubaydi Hasbillah: 2019:22-23).

Jejak-jejak Tafsir Al-Qur’an dalam suatu karya seni atau budaya tertentu  merupakan respon sosial masyarakat terhadap Al-Qur’an yang mereka fahami secara kontekstual. Hal itu pula berkorelasi  antara sifat Al-Qur’an yang multi-intepretable dengan pemilihan suatu interpretasi Al-Qur’an dalam wilayah geografi tertentu dan waktu tertentu. Jadi, ketika kita berbicara tentang adanya jejak Tafsir Al-Qur’an dalam  seni dan budaya Banten, maka kita bukan hanya  akan dapat mendeteksi adanya respon sosial mereka tentang Al-Qur’an secara semiotic-estetis yang tersimbol dari rangkaian prosesinya, tetapi juga kita akan mengetahui respon masyarakat Banten terhadap Al-Qur’an terkait madzhab tafsir tertentu yang menjadi pilihan mereka.

Seni dan Tradisi Banten

Kebudayaan Banten tidak pernah sesaat-pun berhenti, ia bergerak bersama pergerakan peradaban masyarakat Banten dari masa ke masa. Kebudayaan tercipta oleh peradaban manusia yang terus bergerak maju. Bahwa dalam periode tertentu terkesan kebudayaan Banten bergerak kurang dinamis bahkan mundur,  itu tidak terlepas dari fenomena sosial yang mengitarinya seperti stabilitas politik dan sebagainya. Begitupula seni dan tradisi yang tercipta dalam dinamika sejarah budaya dan  peradaban masyarakat Banten sampai hari ini, sebagiannya masih lestari sebagaimana adanya di tengah masyarakat, sebagaiannya lagi lestari dengan proses akulturasi dengan budaya baru, dan sebagiannya lagi tenggelam atau digantikan seni yang muncul dalam konteks kekinian.

Seni dan tradisi Banten yang dimaksud dalam makalah ini dibatasi oleh tema besar tentang jejak Tafsir Al-Qur’an, berarti ia terbatas kepada seni dan tradisi yang ada di Banten setelah masuknya Islam,  yaitu sejak berdirinya Kesultanan Banten pada abad ke-16 Masehi. Memang, Islam dalam tataran teologis adalah system nilai dan ajaran yang bersifat ilahiyah dan transenden, tetapi, dalam perspektif sosiologis Islam merupakan fenomena peradaban, kebudayaan, dan realitas sosial dalam kehidupan manusia. Keduanya secara kontinyu mengalami komunikasi tiada henti sehingga melahirkan typology masyarakat Islam yang berbeda antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan perbedaan geografis, klimatologis dan budayanya yang dinamis, termasuk Islam di Banten secara khusus dan Nusantara secara umum.

Khusus di Banten, sejak masuknya Islam, telah muncul seni dan tradisi Islam Banten yang mempunyai ke-khasan dari daerah lainnya di Nusantara. Hasani Ahmad Said, mengutip MA. Tihami dalam tulisannya “Potret Budaya Dulu, Kini dan Nanti”, mencatat ada 25 seni di Banten yaitu seni Debus Surasowan, seni Debus Pusaka Banten, seni Rudat, seni Terbang Gede, Patingtung, seni Wayang Golek, seni Saman, seni Sulap-Kebatinan, seni Angklung Buhun, seni Beluk, seni Wawacan Syekh, seni Mawalan, seni Kasidahan, seni Gambus, seni Reog, seni Calung, seni Marhaban, seni Dzikir Mulud, seni Terbang Genjring, seni Bendrong Lesung, seni Gacle, seni Buka-Pintu, seni Wayang Kulit, seni Tari Wewe, dan seni Adu Bedug (Hasani Ahmad Said, 2016: 119).

Jejak Tafsir Al-Qur’an dalam Seni dan Tradisi Banten

Jejak tafsir Al-Qur’an dalam dinamika seni dan tradisi Banten, akan mengungkap bagaimana ekspresi keagamaan masyarakat Banten sejak zaman Kesultanan sampai hari ini. jika kita perhatikan dari berbagai macam seni yang dikemukakan oleh Tihami, kita memahami bahwa ekspresi kebudayaan itu sangat kental terpengaruhi citarasa perpaduan  keislaman yang Syafi’iyah-Puritan disatu sisi dan nilai kekesatriaan di sisi lainnya. Minimal, yang demikian itu menggambarkan persepektif  Tihami sendiri sebagai seorang antropolog yang sekaligus “Orang Banten” dalam menghakimi mana seni dan tradisi yang pantas menggunakan nama dan identitas “Seni dan Tradisi Banten” dan mana yang tidak.   Tanpa menggunakan nama “Islam Banten”, hanya dengan istilah “Seni dan Tradisi Banten”, Tihami membatasi Seni  Banten itu hanya terbatas kepada seni   yang berkembang pada masyarakat santri Banten di mana Tihami dibesarkan, atau seni dan tradisi  yang “selamat” dari pisau analisis Syari’at Islam versi madzhab Syafi’I secara rigid. Seakan-akan Tihami ingin mengatakan seni  yang tidak sesuai Syari’at Islam, lebih khusus Madzhab Syafi’I, tidak pantas disebut Seni  Banten.  Saya kira, pandangan Tihami ini, adalah pandangan mayoritas masyarakat Banten, terutama ulamanya, tentang apa itu Seni  Banten.

Seni Tari Jaipong, misalnya, tidak ada yang bisa memungkiri, bahwa ia juga berkembang dalam masyarakat Banten. Pada momen-momen tertentu sebagaian masyarakat Banten masih ada yang mengadakan pagelaran Tari Jaipong, tetapi Tihami tidak memasukannya ke dalam 25 Seni Banten. Hal tersebut menurut saya bisa dengan dua alasan: pertama karena Tari Jaipong bukan seni budaya yang khas muncul dari peradaban Banten sendiri, dalam hal ini ia muncul dan berkembang dari daerah Parahyangan; yang kedua, alasan teologis yaitu bagi Tihami Tari Jaipong belum masuk dalam kategori syar’I.

Kita sekarang sampai kepada bahasan utama yaitu melacak jejak Tafsir Al-Qur’an dalam Seni dan Tradisi Banten. Kita lihat, minimal dari  25 macam seni budaya yang disebutkan Tihami di atas, memang memiliki pesan-pesan simbolis-semiotik dari ajaran Islam terlebih khusus tentang Tafsir Al-Quran.

Tradisi Marhaban misalnya, yaitu suatu tradisi keagamaan masyarakat Banten dalam mengekspresikan kecintaannya kepada Nabi Muhammad SAW berupa bacaan sirah Nabi dan shalawatan. Tradisi itu merupakan refleksi dari perintah Allah untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam Al-Qur’an (Al-Ahzab: 56).

Tradisi Marhaban itu akan terkait dengan tafsir tentang cara bershalawat dan  bid’ah.   Rasulullah SAW ditanya oleh para sahabat, sebagaimana riwayat yang terdapat dalam kitab Tafsir Al-Qurtubi: Bagaimana cara kami bershalawat kepadamu? Kemudian Rasulullah mengajarkan cara bershalawat kepadanya (lihat Tafsir Al-Qurtubi: Al-Maktabah al-Syamilah, 14/133). Menurut para ulama Wahabi membaca shalawat kepada Nabi hanya boleh dengan bacaan  yang warid (yang diajarkan Nabi), sedangkan mayoritas ulama membolehkan membaca  shalawat dengan selain yang warid. Dari sana kita mengetahui bahwa  tradisi Marhaban di Banten yang dalam bershalawat menggunakan kalimat yang tidak warid merupakan ciri bahwa masyarakat Banten mengambil posisi yang sejalan dengan mayoritas ulama.

Point yang lain adalah tradisi Marhaban pula terkait dengan bentuk acara dan prosesi yang khas. Hal itu misalnya terkait dengan berkumpulnya jamaah pada tempat khusus diwaktu khusus dan dengan bacaan yang khusus. Semua itu korelasinya dengan tafsir tentang hukum bid’ah dalam Islam. Contohnya tentang penafsiran Ibnu Katsir ketika menafsirkan Surat Al-Nahl ayat 116, di mana menurut Ibnu Katsir  termasuk berdusta atas nama Allah adalah setiap perbuatan bid’ah yang tidak berlandaskan syara’ (Ibnu Katsir: Al-Maktabah al-Syamilah4/523).

Bagi kalangan ulama Wahabi, kesatuan prosesi semacam tradisi Marhaban itu tidak memiliki dasar teologis-epsitemologis dari syara’, maka tradisi semacam Marhaban itu adalah bid’ah yang terlarang, sedangkan bagi mayoritas ulama, semacam tradisi Marhaban itu memiliki dasar dari agama karena jika diperinci satu persatu dari rangkaian prosesi itu semuanya memiliki dasar dari agama, misalnya berkumpulnya jamaah dalam satu majlis termasuk dalam silaturahmi; meyiapkan makanan bagi mereka termasuk shadaqah dan  membaca shalawat kepada Nabi diperintahkan Al-Qur’an, kesemuanya memiliki landasan teologis-epistemologis dari syara.

Kemudian seni-seni lain yang disebutkan oleh Tihami di atas apabila kita lacak jejak-jejak Tafsir Al-Quran-nya, kurang lebih memiliki kesimpulan yang sama seperti uraian tentang seni marhaban tersebut.

Wallahu a’lam.