
Penulis: Peneliti dan sejarawan Abdullah bin Shalih bin Ali Al Abu Tal’ah Asy-Syarafi, dari ulama Dammaj di kota Sha‘dah, Yaman Utara
Bismillāhirrahmānirrahīm
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya ﷺ. Amma ba‘d.
Karena sejarah Hadhramaut mengalami berbagai problem dan kekurangan besar dalam informasinya akibat ketiadaan sumber-sumber sejarah dan hilangnya sumber-sumber tersebut, maka ketiadaan dan hilangnya sumber itu memberikan kesempatan kepada para pengusik dari kalangan orientalis dan murid-murid mereka untuk membuat sebuah sejarah khayalan dan fiktif bagi mereka, serta membuat kisah-kisah rekaan dan tokoh-tokoh fiktif yang tidak memiliki realitas dalam wujud Hadhramaut.
Ketika apa yang mereka sebut sebagai sejarah itu bukan sejarah yang hakiki, mereka pun terjatuh ke dalam berbagai kontradiksi yang tidak bisa dihindari oleh para pelaku sejarah khayalan lagi semu itu.
Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah memberi isyarat kepada sebagian tokoh yang disebutkan dan tersebar dalam sebagian kitab sejarah Hadhramaut, padahal tokoh-tokoh tersebut tidak memiliki eksistensi nyata dalam realitas Hadhramaut. Bisa jadi tokoh itu sama sekali tidak ada, atau sebenarnya ia memang ada tetapi di luar Hadhramaut, namun dimasukkan ke dalam sejarah Hadhramaut oleh para pengusik yang berbicara atas nama sejarah, demi tujuan tertentu yang mereka inginkan.
Di antara tujuan-tujuan tersebut: ketika sumber-sumber sejarah menghilang, maka muncul kekosongan yang besar; datanglah para pengusik ini untuk mengisi kekosongan itu dengan tokoh-tokoh fiktif. Hal ini menimbulkan banyak dampak negatif bagi Hadhramaut dan sekitarnya; menjadi sebab hilangnya fakta-fakta sejarah yang benar dan digantikan dengan khayalan-khayalan ini.
Mari kita mulai menyebut apa yang ingin kita singgung dari tokoh-tokoh tersebut.
1. Kubur Hud
Kubur Hud yang diklaim itu masyhur dengan ziarah tahunan yang bersifat syirik, bid‘ah, dan khurafat. Klaim ini dibangun atas anggapan bahwa Nabi Hud ‘alaihissalām hidup di tempat tersebut, wafat di sana, dan dimakamkan di situ. Namun hal itu tidak memiliki dasar baik dari Kitab Allah, maupun dari sunnah yang sahih, atau dari perkataan para salaf yang mu‘tabar.
Pernyataan bahwa tempat yang terdapat kubur itu adalah Al-Ahqāf hanyalah bentuk pemaksaan tanpa dalil. Di zaman kita ini, telah ditemukan di Oman peninggalan beberapa rumah yang mereka katakan sebagai peninggalan kaum ‘Ād, dan Oman sendiri termasuk ke dalam wilayah yang disebut Al-Ahqāf. Ada juga yang berpendapat bahwa kubur Hud berada di Mekah, dan ada pula yang mengatakan ia berada di negeri Syam.
Semua ini menunjukkan bahwa klaim bahwa Hud ‘alaihissalām hidup di Hadhramaut dan dimakamkan di sana hanyalah khurafat fiktif yang tidak memiliki dalil.
Syaikh Al-Mu‘allim berkata:
“Maka kami menolak dengan tegas adanya dalil sedikit pun tentang keberadaannya di lokasi tertentu itu, sebagaimana sebelumnya sejumlah sejarawan pun telah menolaknya”
Syaikh Al-Mu‘allim, Lihat: Al-Qubūriyyah, hlm. 386.
Ketika ziarah terhadap kubur yang diklaim ini menjadi salah satu sebab terbesar lenyapnya syi‘ar-syi‘ar Islam dan dakwah tauhid yang diserukan Nabi ﷺ sepanjang hidupnya, serta mengganti agama yang benar dengan agama khurafat dan akidah yang rusak, maka penjajah Inggris yang Nasrani pada masa penjajahannya di wilayah Arab Selatan bangkit mendukung ziarah ini dan mendorongnya melalui para kaki tangannya – dan hal itu terus berlanjut hingga hari ini.
2. Kubur Nabi Allah Shalih ‘alaihissalām
Sejarawan Shalih Al-Hamid Ba‘alawi berkata:
Bagi Nabi Shalih, di daerah kami di Hadhramaut terdapat sebuah kubur yang dikenal dan masyhur, didatangi para peziarah. Ia terletak di Sya‘b ‘Asnab di Wadi Sar. Aku sendiri telah menziarahinya bersama guru kami, Al-‘Allāmah Muhammad bin Hadi As-Saqqaf, sebanyak dua kali. Banyak ulama dan orang-orang saleh yang juga menziarahinya di abad ini maupun abad sebelumnya. Di antara yang paling memberi perhatian terhadapnya adalah As-Sayyid ‘Umar Saqqaf Ash-Shafi Ba‘alawi….”
Shalih Al-Hamid Ba‘alawi
Dalam ucapan Al-Hamid tersebut terdapat isyarat tentang awal mula perhatian terhadap kubur ini, yakni sekitar abad ke-13 dan ke-14 Hijriyah, disertai penjelasannya tentang perhatian yang sangat besar dari ‘Umar Saqqaf Ash-Shafi. Hal ini memberi isyarat yang jelas bahwa orang itulah barangkali yang pertama kali menampakkan (mengangkat) kubur ini, dan sejak saat itu ia pun dikenal lalu orang-orang mulai menziarahinya. Lihat: Al-Qubūriyyah, hlm. 387–388.
Dalam ucapan Al-Hamid, sang sejarawan khurafat itu, juga terdapat pujian dan ajakan perhatian kepada kubur tersebut serta pengagungannya. Maka kubur ini termasuk di antara produk penjajahan yang dijalankan oleh para kaki tangannya pada masa keberadaan penjajahan di negeri itu.
Dari mana kita bisa memastikan bahwa Shalih ‘alaihissalām hidup di Hadhramaut? Itu tidak lain hanyalah kedustaan dan pengelabuan untuk menyesatkan manusia – kita berlindung kepada Allah darinya.
3. Hanzhalah bin Shafwān
Al-Hamid berkata:
Di sini (di Hadhramaut) ada sebuah kubur yang dinisbatkan kepada Hanzhalah, dengan anggapan bahwa ia adalah seorang nabi yang diutus kepada suatu kaum di Hadhramaut. Ar-Razi menyebutkan bahwa kubur Hanzhalah berada di Shan‘a, dan yang benar: Hanzhalah tidak sah dinyatakan sebagai nabi dari para nabi sama sekali.
Al-Hamid, Lihat Al-Qubūriyyah, hlm. 390.
Hal ini menunjukkan bahwa kalangan sufi berupaya memperbanyak tempat-tempat keramat yang dijadikan objek ibadah di Hadhramaut, dan itu adalah sebuah keinginan kolonial Nasrani yang muncul belakangan di Hadhramaut.
4. Hādūn bin Hūd – Yang Diklaim Memiliki Kubur di Desa Hādūn di Wadi Du‘ān, Hadhramaut
Yang mengherankan di sini: para penganut kuburiyah di Hadhramaut mengada-adakan sosok lelaki ini dan berdusta atas nama Allah; mereka menjadikannya sebagai nabi dari para nabi-Nya. Di antara tokoh yang ikut menguatkan khurafat fiktif lagi dusta ini adalah Ahmad bin Hasan Al-‘Aththas. Lihat Al-Qubūriyyah, hlm. 390.
Al-‘Aththas ini juga menyebutkan bahwa di Hadhramaut ada 35 nabi. Katanya: “Kami mendapati hal itu dalam kitab-kitab sejarah Hadhramaut yang ada pada kami.” Lihat Al-Qubūriyyah, hlm. 393.
Artinya, di sisi mereka ada kitab-kitab yang mengikuti metode para orientalis, yang menyembunyikan sejarah Hadhramaut yang hakiki lalu datang dengan sejarah palsu yang dibuat-buat, penuh dengan ilusi-ilusi seperti ini.
Dengan logika seperti itu, hampir seluruh penduduk Hadhramaut akan menjadi keturunan para nabi, atau keturunan kabilah Quraisy, Al-Anshar, penduduk Hijaz, dan Himyar.
5. ‘Abbād bin Bisyr Al-Ausi Al-Anshari radhiyallāhu ‘anhu
Sebagian kitab sejarah Hadhramaut yang ditulis dengan pena-pena “beraliran orientalis” mengklaim bahwa ‘Abbād bin Bisyr turun ke Hadhramaut, tinggal di sana, wafat di sana, dimakamkan di sana, dan memiliki keturunan yang dikenal sebagai keluarga Āl Al-Khathib.
Namun ketika kita kembali kepada sejarah yang sahih yang ditulis oleh pena-pena yang amanah, kita dapati bahwa ‘Abbād bin Bisyr Al-Anshari terbunuh dalam perang Al-Yamāmah, yaitu peperangan antara kaum muslimin dan para murtadin pengikut Musailamah Al-Kadzdzāb.
Atas hal ini para sejarawan dan ahli sirah bersepakat, di antaranya: Al-Bukhari dalam At-Tarikh Ash-Shaghir, Ibnul Atsir, Ibnu Katsir dalam Al-Bidāyah (wa An-Nihāyah), Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Al-Ishābah, Adz-Dzahabi dalam As-Siyar, dan sangat banyak lagi ulama sejarah dan sirah yang tepercaya.
Para imam yang tsiqah ini juga menegaskan — di antaranya Ibnul Atsir dalam Usd Al-Ghābah dan Ibnu Sa‘d dalam Ath-Thabaqāt — bahwa ‘Abbād bin Bisyr tidak memiliki keturunan.
Abu Ath-Thayyib bin Abi Makhramah Al-Hadhrami berkata:
‘Abbād bin Bisyr bin Waqsy adalah salah seorang sahabat yang utama… dan ia tidak memiliki keturunan.
Abu Ath-Thayyib bin Abi Makhramah Al-Hadhrami, Lihat Dalālatun-Nahr.
Tidak ada satu pun teks dari imam sejarah dan sirah yang tsiqah yang menyebutkan bahwa ‘Abbād bin Bisyr pernah turun ke Hadhramaut atau wafat di sana.
Lantas dari mana kalian mengambil sejarah kalian, wahai para pencinta khurafat dan ilusi?
Adapun Āl Al-Khathib, mereka adalah salah satu kabilah Hadhramaut yang asli, dan dari kabilah inilah Wā’il bin Hujr Al-Hadhrami berasal.
Dan seandainya dikatakan: “Mengapa mereka tidak menisbatkan keluarga itu kepada Ziyād bin Labid Al-Anshari, yang telah sepakat (para sejarawan) bahwa ia turun ke Hadhramaut?” Padahal, penisbatan kepada Ziyad akan jauh lebih mungkin tertukar (dengan ‘Abbād) lantaran keduanya sama-sama dari Al-Anshar.
Namun karena pena-pena orientalis bertujuan menghilangkan sejarah yang hakiki, mereka justru menisbatkan mereka kepada ‘Abbād. Seandainya mereka menisbatkan keluarga itu kepada Ziyād, niscaya orang-orang akan selalu mengingat bahwa Ziyād adalah gubernur (wakil) Nabi ﷺ di Hadhramaut, yang mengumpulkan zakat dan memerangi kaum murtad. Informasi sejarah ini pasti akan melekat pada nama Ziyād.
Untuk rincian bantahan terhadap khurafat fiktif ini, lihat:
6. Ka‘b bin Zuhair As-Sulami radhiyallāhu ‘anhu
Beliau adalah sahabat Nabi ﷺ, pemilik qashidah Bānat Su‘ād yang di dalamnya ia memuji Nabi ﷺ.
Mereka (para pengusung khurafat) mengklaim, dengan dusta dan fitnah, bahwa Ka‘b datang ke Hadhramaut lalu wafat di sana, dan kuburnya berada di desa Al-‘Ajlāniyyah di tepi jalan raya utama.
Seandainya mereka bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan, niscaya mereka akan menisbatkan pula kepada beliau sebuah kabilah Hadhramaut dan mengklaim bahwa mereka adalah keturunannya, sebagaimana yang mereka lakukan terhadap selain beliau.
7. Tujuh Puluh (70) Sahabat Peserta Badar yang Diklaim Dimakamkan di Pemakaman Tarim
Para “sejarawan” khurafat fiktif mengklaim bahwa 70 orang sahabat peserta Perang Badar masuk ke Hadhramaut pada masa perang Riddah (pemurtadan), lalu mereka wafat di sana dan dimakamkan di pemakaman Tarim.
Namun, sumber-sumber sejarah yang membahas perang Riddah tidak menyebutkan sedikit pun tentang kabar ini.
Selain itu, benteng An-Najīr yang berada di Al-‘Abr (sebelah barat Hadhramaut) adalah lokasi di dekatnya terjadi pertempuran melawan kaum murtad. Maka bagaimana mungkin jenazah para korban perang itu dipindahkan ke Tarim yang jaraknya jauh?
Kitab-kitab sejarah yang ada tidak menyebutkan satu orang pun dari ahli Badar yang terbunuh dalam pertempuran An-Najīr yang bersejarah itu, bahkan kita tidak menemukan satu pun ahli Badar yang ikut serta dalam pertempuran tersebut selain Ziyād bin Labid Al-Anshari.
Untuk rincian bantahan terhadap khurafat dusta ini, lihat risalah:
– Hal Dufina fi Maqbarati Tarim Sab‘ūna Badriyyan? karya Syaikh Abu Abdurrahman Al-Madz-haji.
Dalam risalah itu, penulis menyebutkan nama-nama para sahabat peserta Badar dan nama-nama tempat mereka wafat atau terbunuh, dari sumber-sumber sejarah dan sirah yang mu‘tabar. Tidak ditemukan satu pun penyebutan tentang Hadhramaut sebagai tempat yang pernah disinggahi atau menjadi lokasi wafat salah satu dari mereka.
8. Ahmad bin ‘Isa yang dijuluki Al-Muhājir
Tokoh ini (yang disebut Ahmad bin ‘Isa Al-Muhājir) tidak pernah masuk ke Hadhramaut, bahkan tidak pernah memasuki batas wilayah Yaman sama sekali.
Para murid orientalis dalam tulisan-tulisan sejarah mereka menyebut bahwa Ahmad bin ‘Isa hijrah dari Bashrah ke Hadhramaut bersama keluarga dan anak-anak pamannya. Yang mengherankan, kitab-kitab sejarah, biografi (tarajim), dan nasab sama sekali tidak mengenal peristiwa hijrah besar dari kalangan Alawiyin secara kolektif ini, yang diklaim terjadi pada tahun 317 H.
Padahal pada masa itu hidup para sejarawan dan ahli nasab besar. Namun, engkau tidak akan menemukan satu pun penyebutan tentang hijrah ini pada seorang sejarawan yang mu‘tabar.
Lihat: Al-Kadzdzib Al-Maqīt fi Iddi‘ā’ An-Nasab ilā Āl Al-Bayt, hlm. 16.
Karena tokoh ini bersifat fiktif dan tidak memiliki realitas faktual di Hadhramaut, maka perselisihan tentangnya pun sangat banyak:
Mereka juga berselisih tentang waktu kedatangannya ke Hadhramaut:
Lihat: Ithhāf Ar-Rutūt fi Fahras Bidā’i‘ At-Tabūt, hlm. 58.
Mereka pun berbeda pendapat tentang motif kedatangannya:
Mereka juga berselisih tentang kuburnya. Sejarawan Bāmu’min menyebutkan:
“Pada awalnya, lokasi kuburnya tidak diketahui. Ada yang mengatakan ia dimakamkan di desa Jasyīr. Yang lain mengatakan ia dimakamkan di desa Al-Husaisah, tanpa penentuan pasti di titik mana kuburnya. ‘Umar ‘Abdurrahman, pemilik (kampung) Al-Hamrā’, mengatakan bahwa hingga sekarang lokasi kubur Al-Muhājir belum diketahui. Ada yang mengatakan orang yang pertama kali ‘menampakkannya’ adalah Abdullah Al-‘Aidrus. Bahkan ada pula yang meriwayatkan bahwa Al-Muhājir sendiri berkata dari bawah kubur yang ‘ditemukan’ itu, bahwa kubur itu adalah kuburnya.”
Lihat: Al-Fikr wal-Mujtama‘, hlm. 280.
Inilah kondisi orang-orang yang membangun sejarahnya di atas ilusi dan dugaan sembarangan; mereka terjatuh pada kontradiksi-kontradiksi.
Alexander Knysh menyebut:
“Seorang peneliti bisa saja meragukan fakta historis tentang (tokoh) Ahmad bin ‘Isa Al-Muhājir, sebagai orang pertama dari para Sādah di Hadhramaut, yang secara rutin dijadikan rujukan oleh para penulis kalangan Sādah untuk memasarkan hak warisan mereka….”
Lihat: Dirāsah Naqdiyyah ‘an At-Tārīkh Al-Hadhrami (Kajian Kritis tentang Sejarah Hadhramaut).
9. ‘Ubaidillah bin Ahmad bin ‘Isa Al-Muhājir
Tokoh ini juga tidak memiliki eksistensi, baik dalam realitas Hadhramaut maupun di luar Hadhramaut.
Para ulama nasab telah menyebutkan bahwa Ahmad bin ‘Isa Al-‘Alawi — yang tidak pernah masuk ke Hadhramaut — memiliki tiga orang anak: Muhammad, ‘Ali, dan Al-Husain.
Tidak ada satu pun penyebutan bahwa ia memiliki anak, baik yang berketurunan (mu‘aqqib) maupun yang tidak berketurunan, yang bernama ‘Ubaidillah. Lihat: Al-Kadzdzib Al-Maqīt fi Iddi‘ā’ An-Nasab ilā Āl Al-Bayt.
Dengan demikian, rangkaian nasab yang dimulai dari ‘Ubaidillah dan seterusnya adalah nasab yang tersusun dan dibuat-buat, yang pada hakikatnya tidak memiliki dasar tempat dalam kenyataan.
Maka inilah (contohnya) Salim bin Bashri bin Ubaidillah: Salim wafat pada tahun 604 H, sementara ia adalah cucu langsung Ubaidillah yang wafat pada tahun 383 H. Terjadilah di sini selisih waktu yang sangat besar.
Ketika mereka melihat “skandal” ini, mereka pun berkata: “Ada Salim bin Bashri lain dalam rangkaian nasab ini, dan ia adalah putra Ubaidillah lain juga dalam nasab tersebut.”
Semua ini hanyalah bentuk tipu daya dan upaya “menabur debu di mata” orang-orang yang lalai.
Faedah: Nama Ubaidillah sangat banyak dijumpai di kalangan cucu-cucu ‘Ali bin Abi Thalib; karena itu, kaum Ba ‘Alawi memilih nama ini untuk disisipkan dalam susunan nasab mereka. Lihat: Jumharah Ansāb Al-‘Arab karya Ibnu Hazm.
10. Muhammad bin ‘Ali Ba ‘Alawi, “Shāhib Marbāt” — Sebuah Legenda Khayalan
Bāmu’min menyebutkan bahwa penulis Thabaqāt Fuqahā’ Al-Yaman telah menyanjung peran penting Muhammad bin ‘Ali Al-Qal‘i, seorang faqih Syafi‘i, dalam menyebarkan mazhab Syafi‘i di Zhufar dan Hadhramaut. Namun, penulis Thabaqāt Fuqahā’ Al-Yaman sama sekali tidak menyinggung peran “pionir” yang diklaim (oleh kalangan tertentu) bagi Muhammad bin ‘Ali Ba ‘Alawi “Shāhib Marbāt” dalam penyebaran mazhab Syafi‘i di Zhufar, sebagaimana digambarkan oleh para sejarawan dan peneliti dari kalangan Ba ‘Alawi.
Padahal, masih terdapat banyak hal yang remang-remang dan tetap menjadi teka-teki dalam kehidupan Shāhib Marbāt yang singkat itu — di mana konon dalam masa singkat tersebut ia melakukan berbagai tindakan besar dan “mengagumkan” di Hadhramaut dan Zhufar: dari aktivitas dagang, penjagaan kafilah, hingga menjadi guru bagi sekelompok besar ulama senior Tarim.
Ini semua diklaim, meski terdapat perbedaan waktu yang sangat besar antara tahun wafat mereka (para ulama Tarim itu) dan tahun wafatnya (Shāhib Marbāt) pada tahun 656 H.
Selisih yang mencolok ini telah ditunjukkan oleh Ibn ‘Ubaidillah As-Saqqaf. Lihat: Al-Fikr, hlm. 172–173.
Alexander (Knysh) berkata:
“Kecurigaan juga dapat muncul terhadap banyak klaim para Sādah, termasuk klaim mereka bahwa salah seorang leluhur mereka, yaitu Muhammad bin ‘Ali Shāhib Marbāt, adalah orang pertama yang menyebarkan mazhab Syafi‘i, dan bahwa Al-Muqaddam — si ahli fikih yang wara‘ — adalah sufi sejati pertama di Hadhramaut.”
Lihat: Dirāsah Naqdiyyah ‘ani At-Tārīkh Al-Hadhrami (Kajian Kritis tentang Sejarah Hadhramaut).
Tokoh yang tidak nyata ini diberikan nama seperti itu agar rancu dengan nama Al-Qal‘i, sehingga mereka bisa “membajak” apa yang dimiliki Al-Qal‘i berupa jasa-jasa ilmiah dan sosial, lalu menisbatkannya kepada tokoh “hilang” yang hanya ada dalam imajinasi.
Demikianlah keadaan pada banyak nama dan biografi yang dibuat-buat: mereka memberi nama atau sifat yang mirip dengan sosok yang masyhur dan dikenal di dunia nyata, agar penipuan dan pemalsuan terhadap manusia menjadi lebih mudah.
Sebagian ahli hadits berkata:
“Ketika sebagian orang menggunakan kedustaan dalam Hadits, kami gunakan ilmu tarikh (kronologi) terhadap mereka — maka kedok mereka pun terbongkar.”
11. Abu Madyan Syu‘aib bin Al-Hasan Al-Maghribi
Ia terkenal sebagai tokoh tasawuf. Adz-Dzahabi membuat biografinya dalam As-Siyar (21/219).
Dalam sejarah Hadhramaut, ia disebut dalam sebuah kisah khurafat yang batil, ditinjau dari syariat maupun dari akal sehat.
Para sejarawan khurafat dan ilusi menyebut bahwa Abu Madyan mengutus muridnya yang bernama Abdurrahman Al-Muq‘ad (si lumpuh) dan memerintahkannya untuk pergi ke Hadhramaut dan menjadikan empat orang dari penduduknya sebagai pemimpin, di antaranya: Muhammad bin ‘Ali Ba ‘Alawi yang bergelar Al-Faqih Al-Muqaddam di Tarim….
Abu Madyan mengabarkan bahwa muridnya itu akan meninggal dalam perjalanan. Ketika murid itu meninggal, ia (Abu Madyan) mengutus murid lainnya, yaitu Abdullah Ash-Shalih, lalu murid inilah yang melaksanakan tugas tersebut….
Kisah ini disebutkan oleh penulis Al-Ghurrar, Al-Masyrā‘, dan Al-‘Uddah Al-Mufīdah. Sumber-sumber kisah ini adalah kitab-kitab yang berdiri di atas khurafat, ilusi, dan klaim-klaim yang tidak sahih; bahkan dikemukakan dengan gaya at-tamrīdh (seperti: “diceritakan bahwa…”, “disebutkan bahwa…”), yang menunjukkan kelemahannya.
Kisah ini juga dibangun di atas klaim mengetahui hal gaib, padahal ilmu gaib adalah kekhususan Allah; siapa yang mengklaimnya berarti kafir.
Kisah ini juga berusaha memberikan kepada Muhammad bin ‘Ali Ba ‘Alawi porsi pengagungan dan penetapan “kedudukan” secara pribadi atau spiritual. Di samping itu, terdapat selisih waktu yang jelas antara Abu Madyan dan Muhammad bin ‘Ali:
Abu Madyan wafat ketika umur Muhammad bin ‘Ali baru 16 tahun. Artinya, ia masih anak kecil. Kapan ia dikenal luas, dan kapan ia masyhur, sehingga perlu dikirim utusan khusus kepadanya?
Kaum sufi berusaha dengan kisah ini dan selainnya untuk membuat orang menyangka bahwa mereka memiliki hubungan kuat dengan para sufi terdahulu, dan bahwa tasawuf telah lama ada di Hadhramaut.
Padahal, Abu Madyan tidak memiliki keterkaitan yang sahih dengan sejarah Hadhramaut, begitu pula Abdullah Ash-Shalih, yang diklaim kuburnya berada di Maifa‘ah dan di atasnya dibangun sebuah kubah.
Kaum sufi melakukan ini karena mereka tahu bahwa orang yang sudah mati tidak akan mengingkari mereka dan berkata: “Ini kuburku, bukan kubur Abdullah Ash-Shalih.”
Demikian pula ketika mereka memiliki tokoh fiktif, mereka katakan: “Ini kuburnya,” lalu mereka bangun di atasnya (kubah dan bangunan), agar kuburan itu tampak “berwibawa” dan dipercaya kaum awam.
Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh kaum Syi‘ah Isma‘iliyah: mereka berkata bahwa itu adalah kubur ‘Ali atau kubur Al-Husain di Karbala, lalu mereka bangun dan hias keduanya, padahal nisbat tersebut dusta; bukan untuk ‘Ali dan bukan pula untuk Al-Husain — namun akhirnya tersebar di kalangan manusia seolah itu adalah fakta.
Alexander Knysh berkata:
“Abdullah Ash-Shalih Al-Maghribi adalah sosok yang samar dan mencurigakan. Dikatakan bahwa dialah yang membangun hubungan antara kalangan sufi Hadhramaut dan sufi di Maghrib.”
Lihat: Dirāsah Naqdiyyah fi At-Tārīkh Al-Hadhrami (Kajian Kritis dalam Sejarah Hadhramaut).
12. Yusuf bin ‘Abid Al-Fasi Al-Maghribi
Dikisahkan bahwa ia bepergian dari Maghrib (Maroko) ke Hadhramaut, lalu menetap di sana dan memiliki keturunan yang tersebar, serta bahwa nasabnya kembali kepada Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.
Tokoh ini tidak dikenal, baik secara personal (‘aynan) maupun biografinya (hālan). Ia tidak dikenal kecuali melalui cerita-cerita orang-orang ahli khayal.
Mereka mengatakan bahwa ia memiliki sebuah kitab berjudul: “Rihlah Ibn ‘Abid Al-Fasi min Al-Maghrib ilā Hadhramaut” (Perjalanan Ibn ‘Abid Al-Fasi dari Maghrib ke Hadhramaut), yang di dalamnya ia menulis biografi dirinya dan kisah perjalanannya.
Namun ia tidak dikenal dalam sumber-sumber ulama Maghrib, tidak dikenal pula di Mekkah yang konon pernah ia singgahi; satu-satunya tempat ia “dikenal” hanyalah di Hadhramaut.
Kisah ini pada hakikatnya adalah karya rekayasa orientalis untuk mengarahkan sejarah Hadhramaut ke jalur yang gelap, menuju “kota hilangnya sejarah.”
Adapun “Perjalanan Orang Maghribi ke Hadhramaut” adalah sebuah rihlah yang ditulis oleh Hasan bin ‘Ali bin Syihab — yang wafat di Tarim pada tahun 1332 H — dengan menggunakan “suara” seorang musafir dari Maghrib.
Di antara bukti yang menunjukkan hal itu adalah banyaknya bagian dalam kitab tersebut yang mengisyaratkan hal ini.
Asy-Syathiri berkata dalam Adwār At-Tārīkh Al-Hadhrami:
“Dan guru kami, Al-Ustadz Muhammad bin Hasjim, mengabarkan kepadaku bahwa As-Sayyid Hasan (bin ‘Ali bin Syihab) memberitahunya bahwa dialah penulisnya (rihlah itu). Dan sisi-sisi yang samar, global, dan berlebihan dalam sebagian aspeknya juga menunjukkan hal itu.”
Lihat: Ithhāf Ar-Rutūt bi Ikhtishār wa Fahras Bidā’i‘ At-Tabūt karya Al-Madz-haji, hlm. 75.
Ketika orang-orang itu mengetahui bahwa kedustaan ini telah terbongkar, mereka berkata: “Ada rihlah lain berjudul ‘Rihlah Al-Maghribi ilā Hadhramaut’; itulah yang khayalan, sedangkan Rihlah Ibn ‘Abid adalah perjalanan yang nyata.”
Namun ini hanyalah bentuk tipu daya lemah yang tidak akan menipu kecuali orang-orang yang sangat polos, sebagaimana yang mereka lakukan dalam kisah ‘Abbād bin Bisyr.
Ketika sumber-sumber sejarah yang terpercaya menjelaskan bahwa ‘Abbād wafat di Al-Yamāmah dan tidak memiliki keturunan, mereka pun dengan sangat naif berkata: “Itu ‘Abbād bin Bisyr yang lain.”
Padahal sumber-sumber itu secara jelas menyebutkan bahwa ia adalah ‘Abbād bin Bisyr Al-Ausi — yang mereka klaim terbunuh di Hadhramaut, dimakamkan di sana, memiliki karamah, keadaan spiritual khusus, dan keturunan bernama Āl Al-Khathib.
Menurut dugaan saya, Āl Al-Khathib itu sendiri lebih tua usia keberadaannya daripada tokoh yang mereka klaim tersebut.
Namun kaum itu tidak memiliki ambisi dan tujuan lain kecuali menggiring sejarah Hadhramaut ke dalam sejarah ilusi dan khayalan.
Ada pula sebagian kalangan sufi yang justru mengingkari keberadaan seorang pun dari keturunan Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib di Hadhramaut. Tetapi mereka tidak memperluas pembahasan masalah ini karena mereka tahu bahwa hal itu akan membuka pintu-pintu yang tidak sanggup mereka tanggung.
13. Tidak Ada Seorang pun dari Keturunan Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. di Hadhramaut
Sebagian sejarawan khayalan yang tidak berbasis realitas mengklaim bahwa nasab Al-‘Amudi kembali kepada Ash-Shiddiq.
Mereka menyusun silsilah sebagai berikut:
“Ia adalah Sa‘id bin ‘Isa Al-‘Amudi bin Ahmad bin Sa‘id bin Sya‘ban bin ‘Isa bin Dawud bin Muhammad bin Abi Bakr bin Thalhah bin ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq.”
Lihat: Ithhāf Ar-Rutūt, hlm. 133.
Mereka tidak menjelaskan siapa orang pertama dari keturunan ini yang turun ke Hadhramaut.
Jika engkau meneliti rangkaian nasab tersebut, engkau akan menemukan banyak sosok yang majhul dan berbagai bentuk manipulasi.
‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdillah Bakhil Āl Bā Batin An-Nauhi berkata dalam kitabnya Idrāk Al-Fawt fi Dzikr Qabā’il Tārīkh Hadhramaut:
“Di sini kami menguatkan — dengan sangat kuat — pendapat para sejarawan tentang penisbatan Syaikh Sa‘id bin ‘Isa Al-‘Amudi kepada (kabilah) Nūh, meskipun mereka sedikit berbeda pendapat, yang perbedaan itu kembali kepada kedekatan tempat tinggal antara kabilah Nūh dan Al-Muhammadiyyin dari (kabilah) Siban. Hal ini mengingat tidak adanya satu pun dasar yang mendukung keterkaitan mereka dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Adapun dasar yang dijadikan pijakan untuk menisbatkan Āl Al-‘Amudi kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dasar yang rapuh dan tidak bisa dijadikan sandaran. Kami sebutkan dasar itu agar ia meruntuhkan dirinya sendiri. Tidak syak lagi, tidak boleh bersandar kepada informasi-informasi yang diserap dari mimpi-mimpi tidur dan khayalan.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Mimpi murni yang tidak ada dalil sedikit pun yang menunjukkan kebenarannya, tidak boleh dijadikan dasar penetapan sesuatu, menurut kesepakatan (ulama).” Lihat: Ithhāf Ar-Rutūt karya Al-Madz-haji, hlm. 134.
Ibnu Taimiyah
Sejarawan Bāmu’min berkata:
“Sa‘id bin ‘Isa Al-‘Amudi berasal dari kabilah Siban. Sebagian orang menisbatkannya kepada ‘Abdurrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq — sebagaimana kebiasaan kaum tersebut….”
Sejarawan Muhammad bin ‘Umar Abu Makhramah, yang wafat tahun 951 H, berkata:
“Al-‘Amudi adalah Bani Muhammad bin Nūh bin Siban.” Lihat: Al-Kadzdzib Al-Maqīt fi Iddi‘ā’ An-Nasab ilā Āl Al-Bayt.
Muhammad bin ‘Umar Abu Makhramah
Maka, Al-‘Amudi, baik dari sisi tempat tinggal maupun nasab, adalah murni Hadhrami. Ia adalah kabilah yang memiliki kedudukan besar di Hadhramaut.
Mereka tidak butuh “jasa” para agen kalangan elite, murid-murid orientalis, untuk mengacak-acak nasab mereka, menjerumuskan mereka ke dalam kebingungan, menjadikan mereka sebagai pengikut (kelas dua), serta merampas sejarah mulia mereka dengan nasab-nasab palsu, sejarah khurafat, dan posisi “ikut-ikutan” yang merendahkan dan meremehkan.
Berikut terjemahan bagian keempat belas secara lengkap dan berurutan, dengan tetap menjaga nada kritik dan ironi yang digunakan penulis:
14. Ya‘qub bin Yusuf
Nama ini adalah nama yang majhul (tidak dikenal) dan “terputus” (tidak jelas identitas dan nasabnya). Lalu datanglah pada abad-abad belakangan para orientalis—para pengusung “sejarah Hadhramaut versi baru”—dan mengatakan bahwa ia datang dari Irak dan bahwa ia adalah keturunan Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib.
Sementara Abdurrahman bin Muhammad Al-‘Aidrus menisbatkannya kepada Rasulullah ﷺ. Ini merupakan bentuk ejekan dan merendahkan martabat kabilah ini.
Kelompok lain mengatakan ia adalah dari keturunan Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, lalu mereka susun untuknya rangkaian nasab, sebagaimana yang mereka lakukan pada Āl Al-Khathib dan Al-‘Amudi, dan mereka mengklaim bahwa kabilah Āl Bāwazir dinisbatkan kepadanya.
Padahal mereka sama sekali tidak memiliki dalil yang kuat, tidak pula sumber tepercaya, bahwa ada seorang pun dari keturunan Al-‘Abbas yang pernah turun ke Hadhramaut. Lihat: Al-Fikr wal-Mujtama‘, hlm. 279–280.
Seandainya mereka berkata: “Ya‘qub bin Maqbarah bin Al-Mukallā” niscaya itu lebih dekat kepada kenyataan daripada nasab buatan ini, yang tak lain hanyalah ilham karangan para “agen elite”.
Lalu sebagian dari anak keturunan kabilah ini pun menulis (menempelkan gelar) “Al-‘Abbasi” di belakang namanya, tanpa memahami apa konsekuensi buruk yang muncul dari nasab yang tidak sah ini.
Namun, masih ada di antara orang-orang bijak dari mereka yang menolak nasab tersebut dan mengakui asal mereka yang Hadhrami murni dan benar.
Demikian pula Āl Ishaq dinisbatkan kepada Al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dan Āl Bā Jābir dinisbatkan kepada ‘Aqil bin Abi Thalib; juga Āl Bin Salim, Bākrit, dan Bāharmī dinisbatkan kepada ‘Aqil bin Abi Thalib.
Selain mereka, ada puluhan kabilah Hadhramaut lain yang diciptakan nasab-nasab baru untuk mereka, sehingga mereka dikeluarkan dari nasab asli mereka menuju nasab yang bukan milik mereka—entah Quraisy, Anshar, atau selainnya.
Jangan sekali-kali kabilah-kabilah ini menyangka bahwa para “agen elite”, murid-murid orientalis Nasrani yang menyusun nasab-nasab ini, bermaksud baik kepada mereka.
Tujuannya adalah menghancurkan nasab mereka, lalu mendorong mereka masuk ke dalam sebuah terowongan gelap yang mereka sendiri tidak tahu bagaimana cara keluar darinya. Inilah proyek kolonialisme, baik langsung maupun tidak langsung, dalam menghancurkan nasab-nasab kabilah dan sejarah mereka—dan proyek ini masih terus berjalan dan mendapatkan dukungan hingga hari ini; para pelaksananya adalah para “agen elite” itu.
Mereka menisbatkan sebagian kabilah kepada keturunan Tamim bin Aus Ad-Dari; kabilah lain kepada keturunan Jabir bin ‘Abdillah (sahabat Nabi); kabilah lain kepada keturunan Salamah bin Al-Akwa‘; kabilah lain lagi kepada keturunan ‘Umar bin Al-Khaththab; yang lain kepada Bani Sa‘d, kabilah Halimah As-Sa‘diyah—dan selain mereka dari kalangan sahabat. Semua itu hanyalah klaim-klaim dan tebak-tebakan yang tidak sahih.
Hakikatnya, nasab yang tidak benar seperti ini sama sekali tidak mengandung kemuliaan bagi pemiliknya, bertentangan dengan apa yang disangka oleh orang-orang yang berpikiran dangkal.
Justru, nasab palsu itu akan berujung pada penghinaan dan peremehan yang sebenarnya ingin mereka hindari.
Orang-orang yang memberikan nasab-nasab tidak sah itu kepada mereka, serta menyembunyikan nasab asli mereka, kelak akan menjadi pihak yang mencela dan merendahkan mereka pada suatu hari—dengan menuduh mereka tidak memiliki nasab yang valid.
Ketika mereka berhujjah dengan nasab-nasab palsu itu, pihak yang menyusunnya sendiri yang akan membatalkannya, karena memang mereka yang membuatnya.
Maka waspadalah, wahai orang yang cerdas, sebelum engkau “diturunkan derajatnya” (tu-fakhkhas).
Rangkaian nasab palsu itu disusun dengan memasukkan nama-nama tokoh fiktif yang tidak memiliki eksistensi nyata, demi menghubungkan antara nama-nama lokal dengan nama-nama “pendatang” dari luar Hadhramaut.
Karena hal inilah muncul berbagai tokoh khayalan dalam sejarah Hadhramaut.
‘Alawi bin Thahir Al-Haddad berkata:
“Aku bertanya kepada guruku — yang dimaksud adalah Al-‘Aththas, penulis Risālah As-Safīnah Al-Majmū‘ah — tentang nasab sebagian kabilah, lalu beliau mengabarkannya kepadaku. Maka aku berkata kepadanya: ‘Kalian menyebut dalam risalah itu bahwa mereka adalah Āl Fulan.’ Maka ia menjawab, ‘Itu adalah laqab (gelar) yang diletakkan oleh para salaf kami bagi mereka sebagai bentuk tafā’ul (pengharapan baik), sedangkan nasab mereka kembali kepada apa yang telah aku sebutkan kepadamu.’”
Lihat: Asy-Syāmil, hlm. 54, dinukil dari Hāsyiyah As-Safīnah Al-Majmū‘ah.
Teks ini secara gamblang menunjukkan bahwa mereka memang membuat nasab-nasab tidak sah bagi sebagian kabilah—dengan harapan bahwa kabilah-kabilah itu suatu hari akan “kembali kepada at-tafakhkhus” (yaitu menjadi fakhāsis menurut istilah mereka: orang-orang bawahan / rendah menurut standar mereka).
Teks ini juga menjelaskan permusuhan dan perang sengit dari kalangan Āl Bā ‘Alawi terhadap kabilah-kabilah Hadhramaut, dengan cara mengaburkan nasab-nasabnya dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran pembodohan, penghinaan, dan peremehan.
Teks ini diperkuat oleh teks-teks lain. Ibn ‘Ubaidillah berkata:
“Dan sesungguhnya banyak sekali kerancuan dalam nasab-nasab kabilah Hadhramaut; tidak ada harapan untuk bisa menyaringnya dengan tuntas karena sempitnya waktu dan kecilnya kebutuhan….”
Lihat: Ithhāf Ar-Rutūt, hlm. 103.
‘Alawi bin Thahir Al-Haddad juga berkata:
“Nasab sejumlah kabilah para masyayikh dan selain mereka berbeda dari yang masyhur di tengah manusia; hal ini menjadi salah satu sebab untuk menyembunyikannya.” Lihat: Asy-Syāmil, hlm. 22.
Ia juga berkata:
“Sesungguhnya nasab-nasab Hadhramaut seluruhnya (sebagian besar) bersifat ‘untuk menguasai’ (alat kekuasaan), bukan ditegakkan di atas ilmu; melainkan sekadar dugaan, klaim, dan turunan-turunan nama yang diucapkan oleh orang-orang polos, awam, dan para penjilat.” Lihat: Asy-Syāmil.
Husain bin Hamid Al-Mihdhar, pejabat politik Inggris di Hadhramaut, berkata tentang kabilah-kabilah Hadhramaut:
“Mereka hanyalah lafālif (kumpulan orang kecil/tak berarti).”
Lihat: At-Tazwīr, hlm. 173.
Dan salah seorang dari mereka berkata tentang kabilah-kabilah di wilayah kesultanan:
“Mereka hanyalah budak-budak kami.”
Lihat: At-Tazwīr.
Berikut terjemahan bagian kelima belas hingga kedelapan belas secara lengkap dan terstruktur, dengan mempertahankan kritik, nada, dan gaya asli teks:
15. Ahmad bin ‘Abdullah Syambil Ba ‘Alawi
Wafat tahun 920 H. Ini adalah sosok yang tidak dikenal; bahkan sebuah figur majhul (tidak jelas). Yang membuatnya terkenal hanyalah kitab yang dinisbatkan kepadanya, yaitu Tārīkh Hadhramaut yang populer dengan nama Tārīkh Syambil.
Di antara hal-hal yang menunjukkan kepalsuan ini adalah:
Dalam kitab itu tertulis:
Maka jadilah:
Kita juga tidak mendapati satu cabang pun atau satu individu pun dari Āl Ba ‘Alawi di Tarim maupun di kota dan lembah lain di Hadhramaut saat ini yang menyandang nama atau laqab “Syambil”.
Bahkan, di dalam kitab itu sendiri, Tārīkh Syambil, kita tidak menemukan seorang pun dari Āl Syambil di seluruh Hadhramaut, kecuali “pengarang” yang diklaim itu, ayahnya, dan putrinya — ketiganya pun klaim semata.
Demikian pula, kita tidak menemukannya pada sumber lama mana pun yang mu‘tabar; tidak kita dapati pula kelanjutan keluarga apa pun yang bersambung kepada “Syambil” ini dalam realitas Hadhramaut hari ini. Lihat: At-Tazwīr wa Istilāb Al-Huwiyyah, hlm. 23 dan 26.
16. Muhammad bin ‘Umar Bā Faqīh Asy-Syahri Ba ‘Alawi
Konon ia adalah pengarang kitab “Tārīkh Asy-Syahr wa Akhbār Al-Qarn Al-‘Āsyir” (Sejarah Asy-Syahr dan Berita Abad ke-10).
Pengarang yang diklaim ini adalah sosok majhul; tidak ada yang menuliskan biografinya, dan Asy-Syilli pun tidak menyebutnya dalam A‘yān Al-Qarn Al-Hādī ‘Asyar (tokoh-tokoh abad ke-11 H).
Baik Syambil maupun Bā Faqīh, keduanya pada dasarnya adalah sosok-sosok yang tidak dikenal, dan eksistensi keduanya dikelilingi oleh banyak keraguan.
Dalam karya-karya yang dinisbatkan kepada mereka, keduanya menceritakan:
Gaya bahasa yang dominan dalam dua kitab itu juga menunjukkan budaya yang lebih akhir, yaitu budaya abad ke-14 H, bukan abad yang diklaim.
Dengan demikian, kita berhadapan dengan Syambil dan Bā Faqīh sebagai dua nama pena (alias) yang tidak memiliki realitas sejarah. Lihat: At-Tazwīr wa Istilāb Al-Huwiyyah, hlm. 76.
Lihat juga rincian dalil-dalil atas kemajhulan sosok ini dalam kitab At-Tazwīr wa Istilāb Al-Huwiyyah, hlm. 55–62 dan seterusnya.
17. ‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Bā Sangjilah Ba‘Alawi Asy-Syahri (wafat 986 H)
Ia dinisbatkan sebagai pengarang kitab “At-Tārīkh Al-Musammā Al-‘Aqd Ats-Tsamīn Al-Fākhir fī Tārīkh Al-Qarn Al-‘Āsyir”.
Pengarang yang diklaim, Bā Sangjilah, adalah sosok majhul. Tidak ada seorang pun yang menuliskan biografinya.
Adapun biografi yang dibuat Bā Faqīh tentang dirinya dalam kitab sejarahnya hanyalah:
Semua ini membuka tabir adanya “rekayasa bersama” di balik dua kitab tersebut.
Ini berarti bahwa biografi Bā Faqīh terhadap Bā Sangjilah adalah biografi yang cacat dan tidak bisa dijadikan pegangan, karena sumber asalnya — kitab Bā Faqīh — sendiri sudah cacat.
Kita juga tidak menemukan satu pun sumber atau referensi yang menyebut adanya sejarawan Hadhramaut — atau selain Hadhramaut — yang dinisbatkan dengan nisbah “Bā Sangjilah”.
Tidak ada seorang pun yang mengatakan nisbah ini kecuali sejarawan Al-Haddad dalam kitabnya Asy-Syāmil, dan itu pun hanya bertumpu pada satu naskah tunggal yang tidak dikenal, yang berada di genggamannya, yang tidak pernah ditelaah seorang pun selain dirinya.
Dari sinilah nama ini kemudian disebar-luaskan dan “dipaksakan” ke dalam khazanah pengetahuan sejarah Hadhramaut. Lihat: At-Tazwīr, hlm. 97.
18. ‘Abdul Qādir bin Syekh Al-‘Aidrus
Lahir dan wafat di India (978–1038 H), dinisbatkan sebagai pengarang “An-Nūr As-Sāfir fī Akhbār Al-Qarn Al-‘Āsyir”
Tokoh Al-‘Aidrus ini adalah sosok majhul juga; tidak ada seorang pun yang menulis biografinya selain dirinya sendiri dalam kitab tersebut.
Orang-orang yang berbicara tentang dirinya pun hanya mengandalkan otobiografinya itu. Di antara yang pertama melakukannya adalah Asy-Syilli dalam kitabnya As-Sanā’ Al-Bāhir….
Dalam biografinya disebutkan bahwa ia lahir dan tumbuh dalam lingkungan sosial dan kultural India, mulai dari keluarga sampai masyarakatnya. Ini berarti bahwa bahasa ibunya adalah bahasa India, terlebih lagi karena ibunya adalah wanita India, baik asal maupun keturunan.
Dengan demikian, muncul pertanyaan:
Padahal, bila demikian, usia Al-‘Aidrus (yang diklaim) saat itu tidak lebih dari 28 tahun.
Lalu:
Al-‘Aidrus yang diklaim ini menyebut bahwa ayahnya menggubah syair tentang dirinya pada hari kelahirannya, sebanyak lima bait, lalu Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Lathif Makhdūm Zādah menambahkan lima bait lagi sebagai pelengkap sehingga menjadi satu qashidah.
Namun, Al-‘Aidrus yang diklaim ini wafat tahun 1038 H, sedangkan Syaikh Makhdūm Zādah lahir tahun 1104 H.
Dengan kata lain, terdapat selisih waktu 66 tahun antara wafatnya Al-‘Aidrus dan kelahiran Syaikh Makhdūm Zādah. Maka jelaslah bahwa kisah “penyempurnaan syair” (takhmis) ini adalah kedustaan besar.
Selain itu, Al-‘Aidrus ini juga tidak pernah menyebut bahwa ia pernah datang ke Hadhramaut sekalipun.
Lihat: At-Tazwīr, hlm. 113 dan seterusnya.
Berikut terjemahan bagian kesembilan belas dan kedua puluh secara lengkap dan setia pada makna, termasuk nada kritik dan sindiran penulis:
19. Jalaluddin Al-Mahalli — Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim Al-Mahalli Asy-Syafi‘i
Seorang ulama ushul dan mufassir; lahir dan wafat di Kairo. Lihat biografinya dalam Al-A‘lām karya Az-Zirikli.
Ia memiliki kitab tafsir yang kemudian disempurnakan oleh Jalaluddin As-Suyuthi, sehingga dinamakan Tafsir Al-Jalalain. Ia juga memiliki Syarh Al-Waraqāt dan karya-karya lainnya.
Sekelompok dari kalangan Ba ‘Alawi, ketika mereka “meniup-niup” (mengagung-agungkan) sosok Abu Bakar bin Salim yang dimakamkan di ‘Aynat—yang kuburnya disembah selain Allah, sebagaimana dahulu Al-Lāt, Al-‘Uzzā, dan Hubal disembah—mengatakan:
“Imam Jalaluddin Al-Mahalli telah datang menziarahinya dari Mesir dan mengambil ilmu darinya.”
Kedustaan ini runtuh seketika ketika engkau mengetahui bahwa:
Maka bagaimana mungkin Al-Mahalli menziarahi dan mengambil ilmu darinya, sementara Al-Mahalli wafat sebelum Abu Bakar lahir?
Namun, kelompok Ba ‘Alawi mengerahkan upaya besar untuk membangun kejayaan bagi diri mereka di atas fondasi kedustaan, legenda, dan khayalan. Lihat: Kitāb Aghlā Al-Jawāhir, hlm. 88.
20. Ja‘far bin Khalid Al-Barmaki
Ia adalah wazir (menteri) khalifah Abbasiyah, Harun Ar-Rasyid, dan diklaim bahwa Āl Bāwazir adalah dari keturunan dan dzurriyahnya.
Klaim ini disebutkan oleh Al-‘Aththas dalam As-Safīnah Al-Majmū‘ah.
Ini merupakan isyarat terhadap tema penting dalam sejarah Hadhramaut: siapa saja yang meneliti dengan cermat kitab-kitab sejarah Hadhramaut yang ditulis dengan pena para murid orientalis, akan menemukan banyak sosok-sosok khayalan seperti ini.
Maksud dimasukkannya tokoh-tokoh fiktif tersebut adalah agar sejarah yang hakiki hilang, lalu diganti dengan sejarah palsu yang menguntungkan musuh dan menyeret masyarakat ke jurang kesesatan dan kebingungan.
Setelah kolonialisme menguasai negeri-negeri tersebut pada abad-abad terakhir, alur kehidupan di negeri itu berubah total. Para penjajah memberi kedudukan yang sangat besar kepada para “agen” mereka, baik secara materi, moral, politik, maupun keilmuan; mereka memudahkan segala rintangan dan melembutkan segala kesulitan bagi mereka.
Mereka (para agen) kemudian disebar di seluruh kawasan Arab Selatan.
Maka mereka pun:
Namun, kenyataannya, urusan itu tetap sebagaimana sabda Nabi ﷺ:
“Barangsiapa mengaku-ngaku suatu klaim dusta untuk memperbanyak diri dengannya, Allah tidak akan menambah baginya kecuali kehinaan (sedikitnya derajat).” Hadits riwayat Muslim dari Tsabit bin Adh-Dhahhak.
Dalam riwayat lain:
“Tiga perkara; siapa yang terdapat pada dirinya salah satunya, niscaya ia akan melihat akibat buruknya sebelum kematiannya.”
— (yaitu termasuk diantaranya klaim dusta untuk menambah kemuliaan diri).
Ditulis oleh: ‘Abdullah bin Shalih bin ‘Ali Āl Abu Tal‘ah Asy-Syarafi
Tanggal: 5 Muharram 1446 H
Bertepatan dengan: 11 Juli 2024 M
Diterjemahkan dari kitab Al Syakhsiyah Al Wahmiyah karya Abu Tal’ah Sejarawan Yaman. (*kd)