Penulis: Kgm. Rifky Zulkarnaen
Dalam rangka merebut dan mengukuhkan posisinya sebagai otoritas tunggal sosial-Keagamaan melalui status Cucu Nabi satu-satunya di Indonesia bahkan dunia[1], Klan Habib Baalwi melakukan social engineering terhadap gelar Sayyid-Syarif dan Habib[2] pada konteks Nusantara (Indonesia). Bagaimana mereka melakukannya?
Mari kita mulai kita mulai dari konsep linguistic arbitrariness yaitu kesewenang-wenangan bahasa.
Linguistic Arbitrariness
Saya langsung memberikan contohnya saja yaitu kata ‘butuh’ di Indonesia. Kata ‘butuh’ itu sinonimnya adalah ‘perlu’. Sedangkan kata ‘butuh’ di Malaysia artinya kemaluan laki-laki[3]. Jadi kalau kamu berkata ‘saya membutuhkanmu cintaku’ itu terdengar aneh di sistem berpikir dan sistem bahasa orang Malaysia; atau kalau kamu berkata di Malaysia kepada seorang perempuan ‘ini kebutuhan saya’, maksud kita sebagai orang Indonesia adalah ‘ini keperluan saya’, tetapi di sistem bahasa dan sistem berpikir mereka—mereka menangkapnya, mengartikannya, menerima maksudnya, sebagai ‘ini kemaluan saya’. Itu bisa jadi pelecehan seksual verbal atau menjadi sesuatu yang terdengar lucu bagi orang Malaysia.
Contoh yang kedua adalah diksi ‘ustadz’. Diksi ‘ustadz’ di Mesir, di Timur Tengah, itu setaraf dengan Profesor sedangkan di Indonesia kata ‘ustadz’ itu bermakna ‘guru agama’ atau setidaknya tukang ceramah. Mari kita baca penjelasan dari nu.or.id[4]:
… dalam kerangka sosial budaya di Timur Tengah, Mesir misalnya, gelar ustadz disematkan kepada mereka yang sudah menduduki level tinggi dalam tingkat kepengajaran di Universitas. Setaraf Profesor.
… menurut pengertian ini maka seseorang belum pantas disebut ustadz kecuali bila sudah menguasai 18 atau 12 cabang ilmu seperti nahwu, shorof, bayan, badi’, ma’ani, adab, mantiq, kalam, akhlak, ushul fiqih, tafsir dan hadits.
Namun di Indonesia sebutan ‘Ustadz’ lazim disematkan kepada siapa pun yang mengajarkan segala hal yang berkaitan dengan agama, pengajar baca tulis Al-Qur’an di TPA, pengajar di sekolah agama (Madrasah Diniyah) maupun penceramah-penceramah yang diorbitkan di televisi selalu dipanggil ustadz.
Begitulah, dalam kerangka sosial budaya di Timur Tengah kata ‘ustadz’ berada dalam struktur vertikal kepengajaran di universitas yang berbasis kualifikasi, kapabilitas, keilmuan, dan berposisi paling tinggi pada struktur sosial itu. Sedangkan di Indonesia tidak demikian. Siapa pun bisa dipanggil sebagai ustadz.
Contoh berikutnya adalah mengenai kasus korupsi impor daging sapi yang dilakukan oleh petinggi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beberapa tahun yang lalu. Mereka menggunakan kata ‘liqo’’ dan ‘juz’ untuk kode korupsi[5]. Diksi ‘juz’ itu term dalam membaca Al-Quran yang artinya adalah bab atau bagian tapi ketika masuk ke sistem bahasa dan sistem berpikir PKS dia bermakna kode korupsi angka milyar. Begitu pun ‘liqo’ merupakan term Arab yang bermakna pertemuan atau lingkaran pertemuan, ketika dia berpindah ke sistem bahasa dan berpikir PKS dia bermakna diskusi atau komunikasi negosiasi korupsi.
Itulah yang disebut linguistic arbitrariness.
Lalu apa itu linguistic arbitrariness? Secara praktis sederhana: linguistic arbitrariness adalah kesewenang-wenangan bahasa. Bahasa itu bersifat sewenang-wenang. Bahasa (kata) bisa berubah maknanya, berubah artinya, sesuai dengan kesepakatan di antara pengguna bahasa atau para komunikatornya.
Penulis mendefinisikannya sebagai berikut:
Linguistik/bahasa/istilah/kata tidak pasti bersifat beku tunggal makna dan oleh karenanya juga tidak berstruktur tunggal persepsi. Ia memiliki sifat sewenang-wenang sesuai kesepakatan para penggunanya (budaya); sesuai lokasi sosio-geografis (sosbud); atau sesuai konteks pembicaraan semisal term di suatu bidang keilmuan tertentu bisa saja berbeda makna dan strukturnya di bidang keilmuan yang lain.
Lalu apa pentingnya memahami sistem bahasa ini atau transfer makna bahasa? Pentingnya adalah begini: sistem bahasa menentukan sistem berpikir kemudian menentukan juga sistem keyakinan; kemudian dari sistem keyakinan itu terbentuklah sistem perilaku sosial komunal—perilaku publik berakumulasi menjadi sebuah sistem budaya, sistem tradisi, sistem sosial juga dan seterusnya.
Jadi kalau kita mau membangun budaya maka dimulai dari sistem bahasa; atau untuk membangun budaya baru maka dimulainya dari membuat sistem bahasa yang baru; atau, secara reverse, juga bisa kita menelusuri sistem bahasa dan sistem berpikir suatu bangsa dari sistem budaya sosial dan tradisinya; serta kita bisa menangkap batiniah, suasana batin, atau psikologis suatu bangsa dari sistem bahasanya.
Lalu apa hubungannya dengan judul tulisan ini yaitu rekayasa sosial pada ‘Sayyid-Syarif dan Habib’? Nah, Klan Habib Baalwi mau membikin budaya baru yang berlaku khusus di Indonesia melalui pembikinan sistem bahasa yang baru kata (gelar) Sayyid-Syarif dan Habib.
Mari kita melangkah bersama lebih jauh.
Linguistic Arbitrariness dan Rekayasa Klan Habib Baalwi pada Gelar Sayyid-Syarif
Lihat pada gambar itu.
Secara origin struktur dzurriat nabi itu hanya ada dua yaitu Sayyid dan Syarif dengan posisi horizontal setara. Di dunia internasional berlaku seperti itu, sedangkan Habib itu tidak tidak ada. Kalau pun ada itu hanya ada di Tarim Hadramaut.
Mengenai gelar ‘habib’, Guru besar sosiologi agama dan ketua komisi hukum MUI pusat, Muhammad Baharun, pada tahun 2020 beliau mengatakan, “Di Timur Tengah malah tak ada sebutan Habib, jamaknya Habaib. Yang ada sebutan Syarif atau yang mulia”[6]. Perhatikan bahwa bahkan sampai pada tahun 2020 pun di Timur Tengah sebagai origin dari budaya bahasa Sayyid-Syarif sebagai penyebutan atau gelar bagi keturunan Nabi, gelar Habib itu tidak ada sebagai gelar bagi keturunan Nabi.
Dengan keterangan tersebut sangat jelas dan secara otomatis gelar ‘Habib’ tidak ada relasi sama sekali dengan sebutan atau gelar bagi keturunan Nabi. Gelar Habib hanya gelar lokalitas yang dibentuk di Tarim Hadramaut saja oleh Klan Habib Baalwi sendiri dan hanya untuk dirinya sendiri. Jadi Klan Habib Baalwi itu ngaku-ngaku sendiri sebagai dzurriyah Nabi, bikin-bikin gelar sendiri bagi dirinya sendiri.
– Evolusi Fase 1
Sistem bahasa internasional itu sebagai originnya, masuk ke Indonesia, dia menjadi atau berada pada Evolusi Fase 1 (satu) yang saya identifikasi mulai dari penjajahan Belanda. Struktur origin itu kemudian direkayasa seperti yang ada pada gambar, yaitu dzurriyat nabi memang ada Sayyid-Syarif tapi kemudian ada tambahan istilah yaitu Habib; dan Habib itulah yang ditonjolkan, yang diperkuat citranya, di masyarakat sebagai gelar bagi cucu Nabi; sedangkan gelar Sayyid dan Syarif tenggelam atau samar di kesadaran publik. [Mengenai kronologikal waktu tepatnya kapan itu terjadi silakan diteliti lebih lanjut].
Keadaan tenggelam atau samarnya gelar Sayyid-Syarif di kesadaran publik terjadi karena memang pada dasarnya para Sayyid-Syarif Nusantara sejak dulu tidak mengunggul-unggulkan (nasab melalui) penggunaan gelar Sayyid dan Syarif di kehidupan sehari-hari mereka, sebagai sebuah warisan strategi dakwah yang membumi dan menyatu dengan masyarakat pribumi.
[Di sisi lain bersamaan dengan keadaan itu, ada pertikaian tajam antara Klan Habib Baalwi dan Al Irsyad mengenai hak penggunaan gelar Sayyid dan permohonan Klan Habib Baalwi kepada penjajah Belanda supaya ditetapkan secara hukum bahwa hanya Klan Habib Baalwi yang boleh mengenakan gelar Sayyid. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak kita bahas pada tulisan ini. Kita globalkan saja.]
Dan gelar Sayyid-Syarif bisa saja sengaja ditenggelamkan—nampaknya kemungkinannya sangat besar memang disengaja ditenggelamkan, melalui cara-cara berikut ini:
Satu. Para Habib mempersekusi Trah Walisongo yang mengaku (di depan publik) sebagai Trah Walisongo atau Sayyid-Syarif. Hal ini untuk mengontrol ruang sosial dan persepsi publik bahwa dzurriat nabi itu ya habib, tidak ada yang lain, atau tidak ada dari jalur lain selain Klan Habib Baalwi.
Dua. Melakukan propaganda positioning satu-satunya sertifikasi resmi dzurriat nabi adalah lembaga Rabithah Alawiyah (RA). Dengan instrumen: garis lurus laki. Jika tidak diakui RA maka bukan keturunan Nabi.
Tiga. Mengakui Walisongo sebagai Klan Habib Baalwi dan melakukan propaganda bahwa Walisongo tidak punya keturunan atau tidak sahih. Dan kalau mau diakui harus diverifikasi dan diakui oleh RA sebagaimana poin dua di atas.
Yang keempat. Melakukan propaganda nasab dzurriyat Nabi paling sahih sedunia adalah habib si Yahudi Khazar cucu dukun Firaun.
Poin 1-4 di atas untuk menciptakan situasi kondisi persepsi publik bahwa tidak ada Sayyid-Syarif (keturunan Nabi) kecuali dari klan Habib Baalwi si Yahudi Khazar saudara Zionis Israel. Satu-satunya cucu Nabi adalah Klan Baalwi dengan gelar Habib[7].
Itu adalah beberapa cara yang saya identifikasi pada Evolusi Fase 1 (satu).
– Evolusi Fase 2
Kemudian, struktur sosial atau rekayasa sosial pada Evolusi Fase 1 (satu) itu, saya mengidentifikasi ada Evolusi Fase 2 (dua) yang dimuncul-munculkan ke permukaan pasca reformasi sampai pada tahun 2023 atau setidaknya sebelum polemik nasab ‘Habib bukan cucu Nabi’.
Yang dari sebelumnya setara antara Sayyid-Syarif dan Habib di Evolusi Fase 1 (satu)—ihat gambar sebelumnya—di evolusi fase 2 (dua) strukturnya berubah menjadi ‘dzurriat nabi itu adalah habib dan di bawah Habib itu ada Sayyid dan Syarif’; dan lagi-lagi Sayyid dan Syarif itu disamarkan atau tersamarkan di radar kesadaran publik.
Dengan struktur itu, para habaib itu atau RA memposisikan gelar Habib sebagai berikut:
Satu. Habib adalah keturunan Rasul sama dengan Sayyid-Syarif. Namun;
Dua. Di Indonesia—ini kan kita ngomongnya rekayasa sosial di Indonesia—yang sebelumnya Sayyid dan Syarif berposisi horizontal setara, kini berubah berposisi struktur vertikal di mana Habib berposisi di atas Sayyid-Syarif secara kualitatif. Dengan kata lain Habib adalah gelar tertinggi di antara gelar bagi keturunan nabi di Indonesia;
Tiga. Gelar Sayyid-Syarif secara simultan didegradasi sebagai gelar bagi keturunan nabi yang tidak memiliki kapasitas keilmuan dan akhlak yang tinggi.
Ini ada di detik.com dan di beberapa portal berita lainnya. Juga dapat Anda dengarkan ungkapan-ungkapan verbal dari Klan Habib sendiri dan budak-budaknya baik offline maupun online di media sosial.
Penulis kutipkan dari detik.com[8]:
Rabithah juga menyayangkan penyematan gelar Habib kepada Ja’far. Menurutnya, Habib adalah gelar kehormatan yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang punya kapasitas keilmuan dan akhlak yang tinggi. Habib Zain berkata, “Dia kurang akhlak dalam ceramahnya tidak berdasarkan keilmuan. Ini bukan Habib tapi Sayyid yang perlu pendidikan akhlak.”
Jadi menurut sistem Klan Habib Baalwi, Habib itu adalah Sayyid yang berilmu tinggi dan berakhlak tinggi. Demikian juga, Syarif kalau berilmu tinggi dan berakhlak tinggi itu disebut Habib. Jika tidak berakhlak tinggi dan tidak berilmu tinggi maka disebut Sayyid dan Syarif.
Maka demikian struktur ‘dzurriat nabi adalah habib—di bawahnya itu Sayyid dan Syarif’ itu yang mau dipropagadakan, diedukasikan, ke publik; dimasukkan, ditanamkan ke dalam sistem bahasa, sistem berpikir dan sistem keyakinan masyarakat Indonesia—melalui cara-cara itu.
Dari mana saya tahu bahwa mereka memiliki rencana menerbitkan buku seperti itu? Dari postingan Instagram Bentang pustaka tanggal 17 Juli 2023[9]. Jadi Juli itu saya pas postingan itu dipost di Instagramnya, “Loh kok begini definisinya?”.
Lihat di gambar itu, kata Habib Zain: “Habib secara bahasa berarti keturunan Rasulullah yang dicintai”. Jadi diubah definisinya, kalau yang kita tahu kan Habib itu adalah orang yang mencintai-dicintai begitu kan. Nah ini ditambahkan—diinsert bahasa di situ ‘keturunan Rasulullah yang dicintai adalah Habib’. Perhatikan berikutnya: “Tidak semua keturunan Rasulullah bisa disebut Habib” dan “Gelar Habib tidak dapat disematkan kepada semua Sayyid, setiap Habib harus Sayyid tetapi Sayyid belum tentu Habib. Seorang Sayyid tidak bisa mengakui dirinya sendiri sebagai Habib.”. Jadi difilter begitu supaya Habib itu menjadi gelar yang tertinggi di Indonesia padahal secara origin di internasional tidak ada struktur vertikal begitu.
Kita lanjutkan.
Kata Habib Zain: “Sayyid tidak bisa mengakui dirinya sendiri sebagai Habib. Pengakuan tersebut harus didapatkan melalui komunitas dengan berbagai persyaratan yang telah disepakati persyaratannya”. Pertanyaannya kemudian, (pada konteks situasi saat itu) persyaratannya siapa yang menentukan? Ya, Rabithah Alawiyah (RA) nantinya—yang pada saat itu menggembar-gemborkan persepsi baik dengan eksplisit atau pun implisit membentuk pemahaman publik bahwa RA-lah satu-satunya lembaga verifikasi dan sertifikasi dzurriat Nabi, jika tidak mendapat pengakuan (passport) dari RA, maka itu palsu—bahkan orang yang mengaku keturunan Walisongo dipersekusi dengan beragam cara.
Untuk membentuk sebuah struktur sosial atau konstruksi sosial yang seperti ini caranya kemudian yang digunakan adalah tetap menggunakan bangunan taktik pada Evolusi Fase 1 (satu) yang kemudian ada tambahan lagi di Evolusi Fase 2 (dua) yaitu:
Poin kelimanya adalah mempermasif propaganda. Melalui memperbanyak jumlah mimbar-mimbar ceramah Habib, konser shalawat, medsos, lagu, pendirian Ponpes oleh klan Habaib untuk meng-grab generasi-generasi muda dan memasukkan konsep-konsep berdasar rekayasa sosial yang sudah mereka desain. Kemudian juga melalui buku pelajaran (kerja-kerja tulisan); itu juga sudah ada kasus-kasusnya; dan lain sebagainya.
Pembaca bisa melihat, dan perhatikan saja, jumlah majelis-majelis Habib bermultiplikasi secara cepat secepat virus penyakit dan mereka memang virus-virus bangsa. Lihat saja 2 sampai 4 tahun terakhir, ketika ini ditulis (2023), betapa cepat mereka mendirikan majelis ini, majelis ini, majelis ini. Saya juga memperhatikan bagaimana manajemen media mereka demikian profesional di media sosial dengan desain, editing, konsep dan lain sebagainya. Itu saya perhatikan juga. Sepertinya ada yang modalin.
Itu poin yang kelima.
Poin yang keenam adalah pembukaan ‘franchise’ Rabithah Alawiyah (RA) di berbagai kota dengan membawa sistem Evolusi Fase 1 dan Fase 2 itu; termasuk, perlu diperhatikan, untuk mempersekusi siapa saja yang tidak sesuai dengan RA atau kontra RA (Klan Habib Baalwi). Setidaknya saya pernah membaca RA sudah ada di 61 kota. Bayangkan apa jadinya keadaan masyarakat dan posisi pribumi Nusantara jika RA dengan sistem Kerja yang begitu tersebar di seluruh Indonesia.
Pembukaan banyak cabang franchise RA itu untuk mengeskalasi dan mengakselerasi pembentukan struktur sosial pada evolusi fase 2 ini, untuk juga mempercepat dan mempermatang konsep itu di masyarakat karena hukum budaya itu memang cepat-cepatan siapa cepat dia dapat.
Jadi misalnya kamu dari Surabaya kemudian kamu kerja di Finlandia dan kamu memperkenalkan bahasa atau kosakata Suroboyoan ‘jancuk’ misalnya. Kemudian kamu bilang ke orang Finlandia itu, selesai kamu makan, ‘your food is jancuk’. Bulenya kan nanya ‘What is jancuk?’ Kamu jawab ‘janchuk is very nice, very good, best of the best, beyond, that’s janchuk.’ Terus kamu populerkan kata itu di Finlandia, di komunitas yang kamu tinggal di sana. Itu nanti, karena kamu duluan yang mengenalkan bentuk kata jancuk dan makna yang dirujuk oleh bentuk dan bunyi jancuk itu adalah ‘beyond best of the best’ maka nanti itu terjadi sebuah konsensus sosial atau konvensi sosial bahasa bahwa jancuk ya maknanya itu, lepas dari origin makna jancuk dari Suroboyoan. Nah jadi cepat-cepatan seperti itu. Sama dengan kasusnya nanti itu ‘thariqoh alawiyyin’, ‘alawiyah’, ‘alawiyyin’ itu polanya sama[10].
Poin yang ketujuh adalah RA atau Klan Habib Baalwi, saya membaca, mereka sudah dan akan menerbitkan buku (atau kerja-kerja tulisan) untuk menanamkan pikiran dan keyakinan supaya terbentuk konsensus sosial atau konstruksi sosial bahwa konstruksi sosial ini khas Indonesia, ini budaya khas Indonesia, dan buku (tulisan, dokumen) itu kemudian dijadikan sebagai literatur rujukan masyarakat yang akan membahas tentang dzurriat Nabi di Indonesia.
Akankah Berhasil?
Apakah desain rekasaya sosial ini berhasil?
Di kurun waktu pra-tesis Kyai Imad, harus diakui pada derajat tertentu social engineering itu berhasil. Keberhasilan itu nampak pada bagaimana sebagian masyarakat, netizen yang awam dan budak habib termasuk sebagian Kyai, yang mengungkapkan pikiran:
Tiga pemahaman di atas terlihat jelas dianut oleh Klan Habib Baalwi, budak-budaknya dan kemudian disebar-sebarkan ke masyarakat.
Pasca tesis Kyai Imad, kemungkinan besar social engineering tersebut tidak akan berhasil, sudah patah, terdistrupsi, dengan adanya polemik nasab yang membuktikan secara ilmiah bahwa Habib bukan cucu Rasulullah Muhammad SAW melainkan cucu Yuya Dukun Firaun.
Fakta dan data mengatakan Habib merupakan keturunan Ubaid yang berdasar kajian ilmiah KH. Imaduddin Utsman Al-Bantani tokoh itu fiktif dan beberapa nama ke bawahnya juga fiktif. Dikuatkan pula oleh hasil kajian filologi Prof. Menachem Ali[13], pakar filologi Unair, dan kajian-kajian KRAT Faqih Wirahadiningrat[14] yang mengungkap Klan Habib Baalwi adalah keturunan Yahudi Khazar bukan orang Arab. Dan berdasar kajian DNA oleh Dr. Sugeng Sugiharto, peneliti yang bekerja di BRIN (Badan Riset Inovasi Nasional), Klan Habib Baalwi itu berhaplogroup G; haplogroup DNA yang sama dengan Yuya Dukun Firau; dan merupakan YDNA suku Yahudi Khazar ke-13 (Yahudi Crypto), suku yang mencangkokkan dirinya sebagai suku Yahudi Abrahamik.
Klan Habib Baalwi itu orang Arab saja bukan, apalagi keturunan Nabi. Mustahil Habib keturunan Nabi Muhammad Saw.
[1] https://rminubanten.or.id/senjata-utama-klan-habib-baalwi-dalam-operasi-klandestin-baalwisasi-yamanisasi-nusantara/
[2] publish pertama kali 28 November 2023 dengan penambahan https://youtu.be/sfXltQpYipk?si=NQhQGNn7cCXydb_I
[3] https://www.kompasiana.com/thsalengke/592235ca529373720ea1ed4f/kamu-orang-indonesia-hindari-lima-kata-ini-di-malaysia
[4] https://www.nu.or.id/opini/panggil-saya-ustadz-c1tXC
[5] https://news.detik.com/berita/d-3524535/gunakan-liqo-dan-juz-untuk-kode-korupsi-ini-alasan-politikus-pks
[6] https://www.muslimobsession.com/tak-semua-habib-keturunan-rasul-lalu-apa-beda-habib-syarif-dan-sayyid/
[7] https://rminubanten.or.id/senjata-utama-klan-habib-baalwi-dalam-operasi-klandestin-baalwisasi-yamanisasi-nusantara/
[8] https://news.detik.com/berita/d-4811435/jafar-shodiq-hina-maruf-amin-rabithah-alawiyah-dia-bukan-habib ; https://kalam.sindonews.com/read/896103/786/perbedaan-habib-dan-sayyid-berikut-asal-usulnya-1664208574
[9] https://www.instagram.com/p/CuzNIWxPpxc/?igshid=MzRlODBiNWFlZA==
[10] https://rminubanten.or.id/politik-bahasa-klan-habib-baalwi-politikus-bahasa-yang-licik-dan-terlaknat-1/
[11] https://rminubanten.or.id/dekonstruksi-gelar-habib-menghentikan-penjajahan-khususnya-untuk-warga-nu-dan-muhammadiyah/
[12] kalimat ini bukan berarti penulis menyetujui bahwa RA adalah lembaga validasi Nasab dzurriyah Nabi, kalimat ini hanya mengeksposisi dan mendeksripsikan pikiran orang lain (masyarakat). Footnote ini sebenarnya tidak perlu namun mengingat Klan Habib Baalwi dan budaknya berkemampuan literasi jongkok dan suka memelintir, footnote ini penulis ungkapkan.
[13] https://www.youtube.com/watch?v=9jLVNqtL1gI
[14] https://rminubanten.or.id/khazar-yakjuj-makjuj-dan-haplogroup-g/ ; https://rminubanten.or.id/marga-yahudi-bin-yahya/ ; https://rminubanten.or.id/iron-dome-israel-runtuh-ba-alawi-indonesia-menghitung-hari/