Pendahuluan
Pertanyaan klasik manusia yang kerap menjadi perdebatan adalah: Bagaimana manusia pertama diciptakan?
Dalam wacana kontemporer, perdebatan ini kembali mengemuka, khususnya terkait polemik nasab Ba‘alwī. KH. Imaduddin Utsman, KRT. Gus Faqih, KRT. Nur Ihyak, Dr. Sugeng dan lain sebagainya, melalui kajian kritis dan pendekatan ilmiah—termasuk analisis DNA—menunjukkan bahwa klaim para habib Ba’alwy muasal Hadhramaut Yaman, sebagai keturunan biologis langsung dari Imam Ali dan Nabi Muhammad SAW tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Temuan ini menimbulkan kegelisahan di kalangan pengikut (muhibbin), sehingga sebagian mem-framing seolah-olah menerima hasil tes DNA sama saja dengan menerima teori evolusi yang “menyatakan manusia keturunan monyet” dan bukan dari Nabi Adam `alaihi salām.
Padahal, konstruksi semacam itu tidak tepat. Evolusi biologis tidak pernah menyatakan manusia berasal dari monyet modern, melainkan berbagi nenek moyang purba. Lagi pula, pandangan Islam tidak harus diposisikan sebagai lawan sains, melainkan dapat disintesiskan. Justru, dengan memahami pola sunnatullah (hukum alam) yang bertahap, kita dapat melihat titik temu antara wahyu dan ilmu pengetahuan.
Dengan demikian, kajian ini berusaha menjembatani kesalahpahaman tersebut, menegaskan bahwa menerima hasil sains (misalnya tes DNA atau konsep evolusi biologis) tidak berarti menolak Nabi Adam, melainkan memperkaya pemahaman tentang cara Allah mencipta melalui proses dan ruh.
1. Nabi Adam sebagai Homo Sapiens Awal
Al-Qur’an menyebut manusia pertama, Nabi Adam, diciptakan dari tanah:
“Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berfirman kepadanya: ‘Jadilah!’6 maka jadilah ia.” (QS. Āli ‘Imrān 3:59) [^1]
Sains menyebut manusia modern (Homo sapiens) sebagai spesies baru yang berbeda dengan hominid purba. Maka, Nabi Adam dapat dipahami sebagai Homo sapiens pertama, ciptaan baru dengan ruh dan akal.
2. Jenis Tanah dalam Al-Qur’an
Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah berbeda terkait asal penciptaan manusia:
Ṭīn (طِين) → tanah liat [QS. al-Sāffāt 37:11]
Turāb (تُرَاب) → debu tanah [QS. Āli ‘Imrān 3:59]
Ṣalṣāl (صَلْصَال) → tanah kering seperti tembikar [QS. al-Raḥmān 55:14]
Ḥama’in masnūn (حَمَإٍ مَسْنُون) → lumpur hitam yang berubah [QS. al-Ḥijr 15:26]
Secara ilmiah: “tanah” bisa dipahami sebagai metafora unsur dasar kehidupan (C, H, O, N, Fe, dsb.), atau substrat biologis purba (DNA, genom) yang tersimpan dalam bumi.
3. Analogi dengan Bioteknologi Modern
Saat ini, ilmuwan dapat mengambil DNA hewan purba seperti mammoth yang terkubur ribuan tahun di es, lalu mengkloningnya menggunakan teknologi rekayasa genetik (CRISPR). [^2]
Analogi ini memperlihatkan: tanah menyimpan unsur biologis yang dapat diolah menjadi kehidupan baru.
Demikian pula, Allah menciptakan Adam dari “tanah” dengan menyempurnakan unsur biologis purba, lalu meniupkan ruh Ilahi.
4. Dalil Qur’an dan Hadis tentang Proses
a. Tahapan biologis manusia
“Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang tersimpan) dalam tempat yang kokoh. Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, lalu segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Mahasuci Allah, Pencipta yang paling baik.” (QS. al-Mu’minūn 23:12–14) [^3]
b. Nabi Adam diciptakan dari tanah melalui fase
“Dia menciptakan manusia dari tanah liat kering seperti tembikar.” (QS. al-Raḥmān 55:14) [^4]
c. Penciptaan kosmos bertahap
“Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa…” (QS. Hūd 11:7) [^5]
d. Hadis Nabi ﷺ
“Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kamu dikumpulkan dalam perut ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nutfah, kemudian menjadi ‘alaqah selama itu, kemudian menjadi mudhghah selama itu, kemudian diutuslah malaikat lalu ditiupkan ruh…” (HR. Bukhari-Muslim) [^6]
Semua ini menegaskan pola: Allah mencipta melalui proses bertahap sesuai sunnatullah.
5. Pandangan Ulama dan Filosof Muslim
Al-Jahiz (776–868 M) dalam Kitab al-Ḥayawān mengisyaratkan perubahan spesies melalui lingkungan. [^7]
Ibn Khaldun (1332–1406 M) dalam Muqaddimah menulis:
“Dunia tumbuhan berkembang perlahan menuju dunia hewan, hingga mencapai dunia manusia yang memiliki akal.” [^8]
Mulla Sadra (1571–1640 M) menjelaskan jiwa manusia berkembang bertahap: dari materi (tanah) → jiwa tumbuhan → jiwa hewan → jiwa rasional → insan kamil. [^9]
Tasawuf Ibn ‘Arabi menafsirkan tanah sebagai “rahim kosmik” tempat segala potensi kehidupan, sebelum Tuhan meniupkan ruh kesadaran.
6. Sintesis Filosofis-Ilmiah
Dari keseluruhan dalil dan pandangan:
Nabi Adam adalah ciptaan baru dari tanah yang merupakan substrat biologis purba.
Allah menciptakan melalui sunnatullah (proses evolutif) sekaligus dengan intervensi ruh Ilahi.
Ruh menjadi faktor transenden yang tidak bisa dijelaskan sains.
Dengan demikian, sains dan agama saling melengkapi: sains menjelaskan proses, agama menjelaskan ruh dan makna.
Kesimpulan
Inilah titik temu wahyu dan ilmu pengetahuan.
Oleh: R.Tb. Moggi Nurfadhil Satya S.Sos., M.A
(Ketua II PWI-LS Pusat)