Penulis: Imaduddin Utsman Al-Bantani
Tanggal 28 November 2025 Saya membuat tulisan ilmiyah untuk Ust. Ajir Ubaidillah murid Taufiq Assegaf. Tulisan itu terkait kitab Al-Manhajussawi, karya seorang Ba’alwi yang Bernama Syekh Zen bin Sumet. Dalam tulisan itu saya kemukakan data dan fakta bahwa kutipan-kutipan tentang bahwa nasab lebih utama dari ilmu yang katanya dikutip dari ulama-ulama besar adalah kutipan palsu. Tidak terdapat dalam kitab-kitab karya ulama yang dimaksud. sembilan hari beralalu Ajir tidak menjawab tulisan saya tersebut. Ia hanya meroasting malu-malu dalam akun Facebooknya. Dalam akun FB-nya itu Ajir membuat status: “Ada yang menuduh kutipan Habib Zen bin Sumaith ttg Al Ghazali bermasalah, Padahal penuduh yang kurang muthola’ah. Tahu kan?”. Hanya bisa begitu. Lalu bukannya menjawab kutipan palsu Zen bin Sumet ia malah menaggapi video Kiai Muharrar sambal membikin kedustaan bahwa saya tidak mau berdebat dengan para cucu Nabi palsu (klan Baalwi) padahal saya mempunyai bukti Rabiath Alwiyah meminta UIN Walisongo untuk tidak membahas nasab di acara seminar UIN Walisongo. Seperti saya mempunyai bukti dari Tubagus Imam Ibrahim bahwa Rabitah tidak bersedia datang ke acara diskusi di Banten. Nanti itu akan saya tanggapi dalam tulisan tersendiri.
Dua hari yang lalu saya dapat bocoran dari Rumail Abas melalui akun FB Pamitnya Ngantor. Dalam satusnya Rumail menulis: “Saya optimis Gus Ajir Ubaidillah akan mampu menanganinya dengan mudah, karena siapapun tahu Ki Imad itu daya bacanya lemah. Nge-bluffing doang dia, mah. Nanti lihat saja buktinya di kanal Gus Ajir, pasti Njenengan paham kalau tukang tuduh seperti Ki Imad ini memang tukang tuduh biasa (gak takut dosa, apa, yq?)”. Namun sampai hari ini Ajir tidak bisa menjawab dari kitab mana Zen bin Sumet mengutip Imam al-Sindi dsb.
Dari status Rumail ini kita mengetahui adanya komunikasi dua arah antara Rumail dan Ust. Ajir yang mungkin keduanya saling tanya-menanya bagaimana menjawab tulisan saya itu. Atau juga mereka berdua termasuk dalam satu tim yang berusaha menjawab tulisan saya tersebut. Rumail mengaku sampai meminta bantuan dua aplikasi AI yaitu “Gemini” dan “Gemini Pro” untuk dapat membuat jawaban tulisan saya.
Lalu Rumail membuat video bantahan untuk tulisan saya. Rupanya Ajir yang Rumail harapkan bisa menjawab langsung dalam kanalnya tidak bersedia melakukannya. Kendati demikian kita bisa menyimpulkan siapapun yang membawakan jawaban untuk saya itu, itu merupakan kerja mereka berdua.
Pertanyaannya, apakah Rumail sudah menjawab proposisi-proposisi tulisan saya atau ia hanya ambil yang mudah-mudah untuk dijawab lalu mengabaikan yang paling penting misalnya tentang kutipan palsu Zen bin Sumet atas nama Imam al-Sindi dan Ibnu Hajar al-Haitami. Saya akan permudah para pembaca untuk menginventarisi proposisi-proposisi saya dalam tulisan saya itu, lalu kita lihat mana yang berusaha dijawab Rumail dan mana yang diabaikan karena proposisi saya dapat diverifikasi kebenaranyya.
Berikut proposisi-proposisi tulisan saya:
Proposisi yang pertama, Zen bin Sumet mengutip bahwa Imam al-Sindi mengatakan bahwa syarif yang bodoh lebih mulia dari 70 orang alim (lihat Al-Manhajussawi karya Zen bin Sumet Baalwi halaman 383). Saya menyatakan dengan tegas bahwa kutipan itu palsu. Tidak ada Imam al-Sindi mengatakan dalam kitabnya bahwa seorang syarif yang bodoh lebih mulia dari 70 orang alim. Untuk proposisi yang paling penting ini Rumail tidak menyanggah apapun. Karena memang nama Imam Al-Sindi hanya dicatut oleh Zen bin Sumet Baalwi. Ajaran bahwa satu syarif yang bodoh lebih mulia dari 70 orang alim ini hanya terdapat dalam kitab karya Baalwi. Saya tantang Kembali Rumail, atau Gus Ajir, atau Taufiq Assegaf untuk dapat membawakan satu kitab selain kitab Baalwi yang menyatakan bahwa seorang syarif yang bodoh lebih mulia dari 70 kiai. Ajaran menyimpang ini bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW. Tidak pernah dikatakan oleh ulama manapun.
Proposisi yang kedua, adalah tentang kutipan narasi yang dinisbahkan kepada Imam Al-Ghazali. Saya mengatakan bahwa Zen bin Sumet tidak menyebut dari kitab apa ia mengutipnya. Hal tersebut menunjukan di situ ada masalah, yaitu bahwa ia tidak merujuk kitab Imam Al-Ghazali secara langsung tetapi mengutipnya dari kitab orang lai tanpa dapat membuktikan dalam kitab apa Imam Al-Gazali mengatakannya. Dan hal itu dibuktikan sendiri oleh Rumail, saya yakin ia telah berusaha mencari dengan bantuan AI dan sebagainya, atau bisa jadi ia bertanya langsung kepada Zen bin Sumet, sang pengarang kitab tersebut: di kitab manakah Imam Al-Ghazali mengatakan perkataan itu, namun ia tidak menemukannya. Rumail tidak dapat menemukan kitab Imam Al-Ghazali yang menulis perkataan seperti itu. Rumail hanya bisa menemukan kutipan itu dari sumber sekunder yaitu kitab Al-Gural al-Bahiyah karya Imam Zakaria al-Anshori dan kitab Mughnil Muhtaj karya Imam al-Syarbini.
Saya meyakini, bahwa Zen bin Sumet juga hanya mengutip dari kitab sekunder tersebut, seharusnya ia menyebutkan nama kitab yang ia kutip itu, misalnya ia mengatakan: “Dalam kitab Al-Gural al-Bahiyah disebutkan bahwa Imam Al-Ghazali mengatakan. Demikianlah cara pengutipan yang benar secara ilmiyah. Jadi narasi Rumail dalam video yang mencampurkan berbagai macam klaim untuk berusaha membuktikan saya salah itu hanyalah usaha meyakinkan para kibin saja yang masih mencari pembenar untuk tidak malu masih mempercayai nasab Baalwi yang cacad permanen dan rungkad secara keseluruhan: Nasab rakitan yang hanya boleh dipercayai oleh orang yang kukuh meyakini bahwa gula itu rasanya asin tanpa mau merasakannya.
Ketika saya mengatakan kutipan Imam al-Sindi dan Ibnu Hajar palsu, Rumail mengaduk narasi saya tentang perkataan yang dinisbahkan kepada Imam Al-Ghazali seakan saya mengatakan hal yang sama seperti kutipan palsu Imam al-Sindi dan Ibnu Hajar, lalu Rumail membuktikannya bahwa perkataan Imam Al-Ghazali itu ada walau bukan di kitab Imam Al-Ghazali sendiri. Itu suatu usaha dari Rumail yang patut dihargai dalam konteks pemebelaannya terhadap nasab palsu, walau dengan berdusta.
Proposisi ketiga, saya menyatakan bahwa zen bin Sumet telah melakukan khianat ilmiyah Ketika mengutip perkataan Imam Al-Ghazali itu. Kenapa? Karena perkataan itu bukan tentang kompetisi antara ilmu dan nasab, tetapi kompetisi antara satu nasab dengan nasab lainnya. Konteks perkataan Imam Al-ghazali itu tentang bernasab kepada Nabi Muhammad SAW lebih utama dari bernasab kepada yang lain karena nasab Nabi Muhammad SAW tidak bisa dibandingi dengan nasab lainnya. Dan ini memang pendapat yang sahih dari para ulama. Bukan perbandingan antara orang bernasab kepada Nabi dan orang yang berilmu. Jika sudah dibubuhi ilmu maka nasab itu kalah secara mutlak oleh ilmu baik bernasab kepada Nabi atau lainnya. Artinya, seorang yang berilmu lebih utama dari seorang syarif yang bodoh secara absolut. Perkataan Imam Al-Gahazali itu diletakan oleh Zen bin Sumet dalam judul besar: “Al-Mufadlalah Baina Syarafil Ilmi Wasyarafin Nasab” (Kompetisi antara kemulian ilmu dan kemuliaan nasab). Inilah sebuah khianat ilmiyah terselubung dalam sebuah pengutipan dan peletakan sebuah ‘maqalah” (ucapan) ulama demi tujuan tertentu.
Mari kita perhatikan kalimat kutipan yang katanya perkataan Imam Al-Ghazali itu:
وقال سيدنا الإمام حجة الإسلام الغزالي رحمه الله : شَرَفُ السبب من ثلاث جهات : أحدها : الانتماء إلى شَجَرَةِ رَسُولِ اللهِ ﷺ ، فهذا لا يُعادله شيءٌ . الثانية: الانتماء إلى العلماء، فإنهم وَرَثةُ الأَنبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُه عليهم . الثالثة : الانتماء إلى أهل الصلاح والتقوى، قال الله تعالى : ( وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا) [الكهف: ۸۲). انتهى .
“Penghulu kita, Al-Imam, hujjah Islam, Al-Ghazali, rahimahullah, berkata: Kehormatan nasab berasal dari tiga aspek: Pertama: berasal dari nasab Rasulullah SAW, karena tidak ada yang setara dengannya. Kedua: berasal dari para ulama, karena mereka adalah pewaris para nabi, shalawat dan salam semoga Allah senantiasa menyertai mereka. Ketiga: berasal dari orang-orang yang saleh dan bertakwa, sebagaimana firman Allah SWT: “Dan ayah mereka adalah seorang yang saleh” (QS. Al-Kahfi: 82). Akhir kutipan. (Al-Manhajussawi h. 383)
Perhatikan, tidak ada kaitan sedikitpun antara narasi kutipan itu dengan judul besar yang Zen bin Sumet angkat. Judul besar Zen bin Sumet adalah tentang perbandingan: mana yang lebih mulia antara ilmu dan nasab. Sedangkan kutipan yang dinisbahkan kepada Imam Al-Gazali itu tentang perbandingan nasab Nabi dengan nasab lainnya. Ketika orang yang bernasab kepada Nabi dibandingkan dengan nasab orang yang tidak bernasab kepada Nabi, maka nasab kepada Nabi lebih utama, dalam keadaan dua-duanya sama-sama bodoh. Dan ini memang pendapat yang sahih. Seluruh ulama islam setuju dengan pendapat ini.
Tapi jika dibandingkan dengan ilmu, maka orang yang berilmu lebih utama dari orang yang bernasab kepada Nabi dalam keadaan ia bodoh. Itulah pendapat yang benar. Para ulama-ulama Islam, seperti Rajanya para ulama Nusantara, Syaikh Nawawi Al-Bantani telah menyatakan bahwa ilmu lebih utama daripada nasab 60 kalilipat (lihat kitab Al-Maraqil Ubuduyah Hal. 284, Cet. Darul Basha’ir). Begitu pula Syekh Husen bin Ibrahim al-Magribi menyatakan dalam kitabnya Qurratul Ain bahwa ilmu lebih unggul daripada nasab (lihat hal. 281) . dan masih banyak lagi ulama-ulama lain yang dengan tegas menyatakan demikian. Sedangkan pernyataan bahwa seorang syarif yang bodoh lebih mulia dari orang alim, sekali lagi, hanya ada di kitab Ba’alwi. Silahkan cari satu kitab dari masa lalu dari mulai kitab ditulis sampai hari ini apakah ada pernyataan yang sama dengan pernyataan menyimpang kaum Baalwi yaitu bahwa satu syarif yang bodoh lebih mulia dari 70 orang alim. Tidak ada.
Dan proposisi saya yang keempat, bahwa kutipan Zen bin Sumet yang katanya adalah perkataan Ibnu Hajar bahwa nasab lebih utama dari ilmu itu adalah palsu. Ibnu Hajar tidak pernah mengatakannya. Klaim bahwa perkataan itu ada dalam fatawa tidak terverifikasi. Dalam dua kitab Fatwa yang ditulis Ibnu Hajar tidak ada pernyataan seperti yang dikutip oleh Zen bin Sumet. Lalu kata Rumail, walau tidak ada dalam kitab Ibnu Hajar tetapi ada dalam kitab Waridatul Gaib karya Syekh Muhammad Mahdi Bahauddin bin Ali Al-Rawas Al-Rifa’I (w.1870 H.). saya mengatakan: tidak bisa pendapat Ibnu Hajar di di dalam kitab orang lain disebut sahih sebagai pendapat Ibnu Hajar sementara dalam kitabnya tidak ditemukan. Di tambah justru yang ditemukan dalam kitab Ibnu Hajar pendapatnya bertentangan dengan kutipan itu. Jelas itu sebuah pencatutan yang memalukan.
kata Rumail: Syekh Mahdi ini seorang sayyid. saya mengatakan ia bukan sayyid tetapi orang yang mengaku sayyid sama dengan klan Baalwi. Mengapa? karena keluarganya telah tes DNA dan tes DNA-nya gagal. Mereka berhaplogroup sama dengan Ba’alwi yaitu G. silahkan periksa keluarga Al-Rifa’I yang telah melakukan tes DNA dengan nomor KIT 357729 dengan nama Al-Mitbaqi al-Rifa’I al-Husaini dan nomor M10436 dengan nama Al-Qatali al-Kandari al-Rifa’i. keduanya berhaplo G. maka pengakuan keluarganya yang mengaku sebagai keturunan Nabi tidak dapat diterima. Hari ini orang yang boleh mempercayai haplogroup G sebagai keturunan Nabi hanya orang-orang suku pedalaman yang tidak mempunyai akses informasi dan pengetahuan.
Lalu apakah dengan ditemukannya ucapan palsu Ibnu Hajar dalam kitab Syekh Mahdi bisa dikatakan bahwa Ibnu Hajar benar telah mengatakannya. Tentu tidak. Apalagi narasi itu muncul dari kitab pengaku nasab Nabi semacam Syekh Mahdi. Tentu patut dicurigai bahwa ia memiliki kecendrungan yang sama dengan Baklawi yaitu pertama ia mengaku sebagai keturunan Nabi lalu ia melegitimasi pendapat nasab lebih mulia dari ilmu untuk menjadikan dirinya yang berilmu lebih dimuliakan dari ulama lainnya karena nasabnya itu. Kecurigaan semacam itu tidak berlebihan.
Maka dari itu tugas Rumail atau Ustad Ajir ada dua:
Pertama, harus mencari ucapan ulama lain selain pengaku nasab semacam Sekh Zen bin Sumet Baklawi dan Syekh Mahdi Al-Rifa’I yang mengatakan bahwa nasab lebih mulia dari ilmu. Jika ada berarti benar bahwa ajaran itu bukan khas milik Baalwi atau Syekh mahdi, tetapi jika tidak ada maka benar bahwa ajaran yang mengatakan nasab lebih mulia dari ilmu adalah ajaran khas para nasab palsu semacam Baalwi dan Syekh Mahdi Al-Rifa;I itu.
Kedua, Rumail harus dapat menemukan bahwa narasi yang dinisbahkan kepada Imam Ibnu Hajar yang dikutip Zen bin Sumet itu benar-benar terdapat dalam kitab Ibnu Hajar sehingga Zen bin Sumet dan atau Syekh Mahdi tidak bisa disebut pendusta.
Terakhir, batalnya nasab Taufiq Assegaf sebagai sayyid secara ilmu nasab, sejarah dan tes DNA adalah sebuah fakta ilmiyah yang tidak bisa dibantah. Telah banyak marga Assegaf yang telah tes DNA dan haplogroup mereka adalah G. Siapa yang masih berusaha membelanya maka ia telah menjerumuskan dirinya sebagai kaum pembenci Ahlibait dan keturunannya, karena ia telah mencampurkan nasab suci Rasulullah dengan nasab yang selainnya.