Oleh: Didin Syahbudin
Identitas Islam Nusantara yang selama ini melekat untuk Ormas Nahdlatul Ulama (NU) belakang ini tergeser pasca munculnya Ormas Islam baru Bernama Perjuangan Walisongo Indonesia-Laskar Sabilillah (PWI-LS).
Para pemerhati sosial budaya dan keagamaan di Indonesia menilai PWI-LS telah mampu memikat kaum Islam Tradisonalis dari mulai ulama dan masyarakatnya untuk bergabung dengan Ormas Islam yang baru berumur dua tahun tersebut. Bahkan kabarnya laskar PWI-LS yang berjumlah ratusan ribu itu banyak di antaranya merupakan mantan anggota Banser dan Pagar Nusa. Awalnya, banyak di antara mereka tetap aktif dikedua Ormas itu, tetapi semenjak PBNU menerbitkan surat yang menyatakan PWI-LS bukan merupakan bagian struktural NU disusul dengan pernyataan nonformal sebagian petinggi PBNU yang melarang anggota Banser untuk aktif di PWI-LS, anggota Banser terpaksa harus memilih satu di antara keduanya. Yang demikian itu kemudian membuat nama PWI-LS semakin independen dan lebih terbuka.
Nilai-nilai Islam yang toleran serta faham Islam Ahlussunah Waljamaah yang diusung oleh PWI-LS tidak berbeda dengan NU. Yang membedakan mereka adalah ketegasan mereka sebagai penerus perjuangan Walisongo yang menyebarkan faham Islam Rahmatan Lil’alamin. Juga sikap tegas PWI-LS terhadap upaya pembelokan sejarah Islam di Nusantara dan perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa yang dilakukan oleh kaum imigran serta keberpihakan yang nyata terhadap peran kiai-kiai pribumi Nusantara.
PWI-LS juga menyatakan bahwa Islam sebagai agama mayoritas harus melindungi agama minoritas begitupula suku Jawa. Keduanya adalah mayoritas di tengah bangsa Indonesia yang menurut PWI-LS, jika keduanya telah memiliki keinsafan untuk mengayomi yang lainnya maka keharmonisan dan persatuan bangsa Indonesia dalam bingkai NKRI akan tetap bisa dijaga selama-lamanya. Menurut PWI-LS sikap mengayomi dari mayoritas itu akan menumbuhkan rasa hormat dari minoritas dan akan bermuara kepada hilangnya sifat saling curiga dan menumbuhkan sikap saling menyayangi.
Hal lain dari Ormas Islam yang diketuai oleh KH. Abas Bili Yahsyi dari Pesantren Buntet Cirebon yang memikat hati masyarakat adalah sikap mereka terhadap usaha menjaga ajaran Walisongo dan kebudayaan Nusantara. Dalam acara-acara yang digelar PWI-LS ditampilkan kesenian dan budaya local Nusantara, hal tersebut kemudian menumbuhkan rasa bangga terhadap kekayaan budaya sendiri.
PWI-LS pula dengan tegas menyatakan penolakannya terhadap klaim keturunan Nabi dari kaum Ba’alwi. Menurut PWI-LS kaum Ba’alwi yang disebut dengan habib itu bukan keturunan Nabi Muhammad SAW. DNA mereka berhaplogroup G yang merupakan penanda dari keturunan Suku kaukasus Bangsa Turki Kuno. Mereka pun menolak keras klaim para habib bahwa kaum Ba’alwi lebih mulia secara dzat dari bangsa Indonesia. Bagi PWI-LS bangsa Indonesia yang telah mendiami tanah Nusantara ribuan tahun yang silam adalah keturunan mulia dan lebih mulia secara dzat dari kaum Ba’alwi.
Menurut para pengamat sosial, hal terakhir itulah yang paling memikat kaum Islam Tradisionalis di Indonesia sehingga meyakinkan mereka bergabung dengan PWI-LS. Ormas NU dinilai absen dalam hal yang dirasa urgen bagi kaum Islam tradisionalis. Kaum Islam tradisionalis yang selama ini memendam kejengkelan terhadap perilaku para Ba’alwi terhadap para kiai di akar rumput merasa terwakili oleh ketegasan PWI-LS. Dalam wadah PWI-LS kiai-kiai di kampung merasa aman dari perilaku menjengkelkan para Ba’alwi tanpa harus takut lagi dengan doktrin-doktrin using kiai-kiai NU yang masih mukibin yang menakuti mereka dengan kuwalat dan sebagainya.
Hal menarik dari munculnya PWI-LS adalah relasi antara kaum Islam Tradisionalis di masa yang akan datang dengan Ormas NU yang selama ini menjadi identitas mereka. Kaum Islam tradisoinalis yang selama ini mengidentifikasi diri atau merasa dekat dengan NU apakah akan bergeser kepada PWI-LS. Apakah ke depan NU akan hanya terkonsentrasi di pesantren basis NU saja, sementara Islam tradisionalis di luar basis pesantren akan mengidentifikasi sebagai bagian dari PWI-LS. Walaupun tentu kemungkinan itu tidak serta merta mengatakan bahwa dalam PWI-LS tidak mempunyai basis pesantren. Struktur pengurus PWI-LS yang hari ini ada justru menunjukan para kiai-kiai pengasuh pesantren merupakan mayoritas dalam struktur kasepuhan setiap tingkatan kepengurusan PWI-LS. Ditambah ketua PWI-LS merupakan kiai pengasuh pesantren dari salah satu pesantren tertua di Indonesia. Nampaknya relasi NU, PWI-LS dan Islam tradisionalis akan menarik diamati di masa-masa mendatang.
Wassalam.