(kitab sezaman atau yang mendekatinya dari ahli nasab) Itupun kalau ada, sedangkan fakta berkata lain.
Begini penjelasannya :
KEMUNCULAN NAMA ABDULLAH DI AKHIR ABAD 9 H.
Nama Ubaidillah belum muncul di pertengahan abad Sembilan, tetapi ada nama baru yang disebutkan oleh kitab An-Nafhah al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al-Yamani al-Musawi (w. 880) nama itu adalah Abdullah bin Ahmad. Agaknya, kitab An-Nafhah ini menukil dari kitab al-Jundi (w. 730 H.).
Dari situ kita melihat bahwa nama Abdullah tidak tercatat oleh ahli nasab selama 543 tahun, dihitung dari wafatnya Ahmad bin Isa.
Dari kitab yang mulai mencatat nama Ahmad bin Isa minimal ada tujuh kitab mulai abad kelima sampai kesembilan yang tidak menyebutkan nama Abdullah sebagai nama anak dari Ahmad bin Isa.
Kitab an-Nafhah al-Anbariyah, Syekh Muhammad Kadzim, ia sendirian tanpa referensi dari kitab nasab yang telah disebutkan:
ia sendirian ia sendirian tentang pindahnya Ahmad ke Hadramaut, tidak ada ahli nasab dalam kitabnya menyebutkan seperti itu.
ia sendirian tentang nama Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa, nampaknya, ia melihat kitab al-Suluk dan mengambil referensi darinya.
Satu catatan penting, bahwa Banu Abu Alawi yang disebut oleh Syekh Muhammad Kadzim tersebut bukanlah Ba Alawi para habib yang menurunkan al-Faqih al Muqoddam, tetapi Banu Abu Alwi dari keluarga Jadid,
Sebagaimana ia tegaskan dengan kalimat: “Maka dari keturunan al-Jadid ini adalah Bani Abu Alawi, yaitu Abu Alawi bin Abul Jadid bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa.” Perhatikan! Banu Abu Alawi adalah Abu Alawi bin Abul Jadid, generasi ke delapan dari Jadid bin Abdullah.
HABIB ALI AL-SAKRAN ORANG YANG PERTAMA MENYEBUT NAMA UBAIDILLAH SEBAGAI ANAK AHMAD
Menurut Habib Ali al-Sakran leluhur mereka (Para Habib Ba Alawi) ditulis secara berkesinambungan sebagai Ubaid bin Ahmad bin Isa.
Lalu ia berijtihad (berasumsi) bahwa Ubaid ini adalah sama dengan Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, seperti yang disebut dalam kitab Al-Suluk karya al-jundi (w. 730. H).
Habib Ali al-Sakran menulis sebuah kitab yang diberi nama Al-Burqatul Musyiqoh (selanjutnya disebut al-Burqah). Dalam kitab itu, untuk pertama kali nama Ubaidillah disebut sebagai Anak Ahmad bin Isa dengan argument bahwa Ubaidillah ini adalah nama lain Abdullah yang disebut oleh Al-Jundi/dalam kitab as Suluk (w. 730 H.).
Kitab-kitab selanjutnya yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, kemungkinan besar, menukil dari Habib Ali al-Sakran tersebut. Diantara kitab-kitab itu seperti: ،al-Dlau‟ al-Lami‟ karya al-Sakhowi (w. 902 H.), kitab Qiladat al-Dahr fi Wafayat A‟yan al-Dahr karya Abu Muhammad al- Thayyib Ba Makhramah (w. 947 H.), kitab Tsabat28 Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H.), kitab Tuhfat al-Tholib karya Sayid Muhammad bin al-Husain as-Samarqondi (w. 996 H), kitab al-Raudl Al-Jaliy karya Murtadlo al-Zabidi (w. 1205 H) dll.
Di kalangan keluarga Ba Alawi sendiri, nasab yang masyhur hanyalah ―Ubaid bin Ahmad bin Isa‖, lalu ketika Habib Ali al Sakran melihat kitab al-Suluk, yang menyebut nama Abdullah bin Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, ia berkesimpulan bahwa nama itu adalah nama lain dari Ubaid bin Ahmad bin Isa.
Dari penjelasan ini, sama sekali tidak ada informasi tentang syuhroh istifadloh. Semua penetapan dilakukan dengan metode kedua (kitab ahli nasab)
ABDULLAH BUKAN UBAIDILLAH DALAM KITAB AL-SULUK
Para pembela nasab para habib Ba Alawi di Indonesia mengatakan bahwa Ubaidillah sudah dicatat pada abad delapan. Yang demikian itu, katanya, terdapat di kitab al-Suluk karya al-Jundi (w.730 H.), yaitu ketika ia menyebut nama Abdullah sebagai anak Ahmad.
Abdullah ini, menurut para habib, mempunyai anak tiga: Jadid, Alwi dan Bashri. Alwi dan Bashri dari ibu yang sama, sedangkan Jadid ibunya berbeda. Jadi wajar yang disebut hanya keluarga Jadid, karena ibu mereka berbeda, kira-kira demikian hujjah mereka. Jadi, walaupun yang disebut hanya keluarga Jadid sebagai keturunan Abdullah bin Ahmad, maka keluarga Alwi pun terbawa karena mereka saudara.
Apakah benar Abdullah yang disebut al-Jundi itu sosok yang sama dengan Ubaidillah leluhur para habaib?
Jika seandainya-pun benar, bahwa Ubaidillah adalah sosok yang sama dengan Abdullah, tetap saja masih terputus riwayat selama 385 tahun dihitung berdasar wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H sampai wafatnya al-Jundi pengarang kitab al-Suluk yang wafat tahun 730 H.
Yang ditemukan justru menunjukan bahwa Abdullah ini sama sekali bukan Ubaidillah. Ia orang yang berbeda.
SYUHROH ISTIFADLOH (POPULER DAN VIRAL) BARU TERJADI DI ABAD 14
Populer dan viral yang terjadi sejak pertengahan abad 14 sampai saat ini adalah kepopuleran yang tidak dapat dibenarkan secara ilmiyah dan penulis menganggapnya sebagai KONSPIRASI NASAB MULIA.
Para habaib dan muhibbinnya mempopulerkan apa yang sudah tertuang dalam kitab abad 9, 10, 11, 12 dan 13 H. yang semua kitab-kitab tersebut bersumber dari kitab al Burqoh al Musyiqoh (895 H.) Sedangkan kitab al Burqoh sendiri tidak ditemukan referensi sama sekali.
Namun di framing sedemikian rupa, seakan-akan SYUHROH ISTIFADLOH mencakup pada sosok fiktif bernama UBAIDILLAH, padahal kepopuleran itu tetap menyisakan persoalan, yaitu : unsur dari bagian struktur pohon nasab ba alwiy ada yang tidak terkonfirmasi.
Disebutkan juga bahwa sudah ratusan ulama’ yang menshohehkan nasab ba alwiy dengan fatwa-fatwanya, tapi fatwa mereka tidak dilandasi dengan dalil-dalil yang menyambungkan nama UBAIDILLAH dari abad kesembilan menuju abad ke empat.
Fatwa-fatwa mereka sama sekali tidak mempengaruhi status dan kondisi jalur nasab yang terputus. Mereka menshohehkan jalur nasab yang salah, mereka mengakui kebenaran silsilah nasab yang terbukti putus. Itu artinya nasab ba alwi tetap terputus, dan mereka bukan keturunan Nabi SAW.
Namun hikmah dari fatwa-fatwa tersebut membuat ba alwiy tidal mungkin lagi berpindah jalur nasab, seperti yang pernah meraka lakukan sebelumnya.
Buat lora Ismail, kalau masih bertekat menshohehkan nasab gurunya sebagai dzurriyah Nabi, anda wajib menghadirkan dalil yang dimiliki ali as syakron. Bila tidak, maka anda termasuk menetapkan nasab yang bathil.
Tidak salah, apa yang di sarankan oleh KH. Imaduddin Utsman al bantaniy, lakukan sholat istikhoroh. Karena beliau masih meyakini kesucian hati anda, mengingat anda adalah cicit dari pendiri NU.
Dan al Faqir juga menginginkan supaya lora bisa menyarankan untuk test DNA, bagi siapa saja yang masih mengaku sebagai dzurriyah Nabi SAW.
Sangat aneh rasanya bila anda keberatan dengan tes DNA bila diterapkan kepada orang atau kelompok yang mengaku-ngaku sebagai cucu Nabi SAW.
Metode Qiyafah yang hanya mengandalkan personality, dan sangat sulit pengawasan serta evaluasinya dapat dijadikan sebagai produk hukum fiqhi. Sedangkan Uji Y-DANA dengan kecanggihan teknologi yang terus berkembang telah anda tolak mentah-mentah dengan alasan nasab jauh, ini sungguh diluar nalar.
Untuk ini penulis akan coba menjelaskan dalam postingan selanjutnya.
Salam Ta’dzim dan semoga jenengan panjang umur dan sehat-sehat selalu. Amin.