Kiai Nusantara Membongkar Skandal Ilmiah Dibalik Klaim Nasab Ba’Alwi

Posted by: Kang Diens 08-Mar-2025 Tidak ada komentar

Oleh: Didin Syahbudin

Banten, 8/3/2025 – Sebuah penelitian monumental yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman Al-Bantani berhasil mengungkap skandal ilmiah dalam silsilah Ba’alwi, kelompok yang selama ini mengklaim sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Dengan bukti yang dikumpulkan melalui riset mendalam dan perjalanan ilmiah selama dua tahun terakhir, KH Imaduddin menegaskan bahwa klaim nasab ini tidak memiliki dasar historis yang valid dan sarat dengan manipulasi ilmiah.

Klan Ba’alwi, yang berasal dari Tarim, Hadramaut, Yaman, telah lama mengklaim garis keturunan mereka berasal dari Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib. Namun, penelitian terbaru ini menunjukkan ketidaksesuaian antara klaim tersebut dengan sumber-sumber sejarah yang lebih awal dan lebih kredibel. Nama Ubaidillah, yang disebut-sebut sebagai anak Ahmad bin Isa, tidak pernah ditemukan dalam catatan sejarah sezaman atau yang mendektinya. Narasi tentang perubahan nama dari Abdullah menjadi Ubaidillah karena ketawaduan juga baru muncul di abad ke-9 Hijriah, dalam kitab yang ditulis oleh Ali al-Sakran, yang secara kronologis jauh dari era kehidupan Ahmad bin Isa.

“Allah telah mengungkap kepalsuan Paulus setelah 550 tahun. Kini, setelah 550 tahun Ba’alwi mengklaim nasab mereka, saya yakin Allah juga akan membuka tabir kebenaran yang sesungguhnya”

(KH Imaduddin Utsman al-Bantani, M.A.)

Dalam penelitiannya, KH Imaduddin menemukan adanya interpolasi dalam berbagai kitab yang dijadikan rujukan oleh Ba’alwi. Beberapa manuskrip yang diteliti ternyata telah mengalami penyisipan teks untuk memperkuat klaim silsilah mereka. Salah satunya adalah kitab Abna’ul Imam fi Mishro Wasyam, yang dalam versi cetaknya menyebut anak Ahmad bin Isa berjumlah empat orang, termasuk Ubaidillah. Padahal, dalam sumber primer yang lebih tua, nama ini tidak pernah disebutkan. Hal serupa ditemukan dalam kitab Al-Baha fi Tarikh Hadramaut, di mana terdapat upaya menyisipkan informasi seolah-olah wafatnya Faqih Muqoddam tercatat dalam sumber yang netral, padahal catatan itu justru berasal dari kitab-kitab yang ditulis oleh Ba’alwi sendiri berabad-abad kemudian.

Lebih mengejutkan lagi, penelitian ini mengungkap pencurian gelar seorang tokoh historis di Mirbat, yang kemudian diberikan kepada seseorang dalam silsilah Ba’alwi. Ini adalah upaya rekayasa sejarah yang bertujuan untuk memperkuat posisi mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Sejarah yang selama ini diyakini banyak orang ternyata telah dimanipulasi dengan sangat sistematis, hingga sulit dibedakan antara fakta dan rekayasa.

KH Imaduddin juga menyoroti praktik penyembunyian naskah yang dapat membatalkan klaim Ba’alwi. Salah satunya adalah kitab Tahdzibul Ansab karya Al-Ubaidili, yang dalam kutipan Alwi bin Tahir Al-Haddad dalam Uqudul Almas tidak pernah diterbitkan atau diperlihatkan kepada publik. Alasannya sederhana: dalam kitab itu tidak ada penyebutan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa. Namun, kebenaran akhirnya terungkap setelah kitab ini ditemukan dan diterbitkan oleh Muhammad Al-Kazim pada tahun 1989, membuktikan bahwa kutipan Alwi bin Tahir dalam Uqudul Almas bertentangan dengan isi manuskrip aslinya.

Penelitian ini juga mendapat dukungan dari berbagai ulama yang sejak lama telah meragukan klaim Ba’alwi. Beberapa di antaranya adalah Ahmad bin Sulaiman Abu Bakrah al-Turbani, Murad Syukri Suwaidan, Syekh Muqbil al-Wada’i, dan Ali al-Tantawi. Namun, suara mereka selama ini kerap ditutupi oleh dominasi narasi yang dibangun oleh Ba’alwi sendiri. KH Imaduddin menegaskan bahwa banyak ulama yang sebenarnya sudah menyuarakan keraguan ini, tetapi masyarakat belum memiliki akses terhadap informasi yang lebih objektif.

Dalam buku “Kronik Perjalanan Ilmiah”, KH Imaduddin tidak hanya menyajikan kajian ilmiah, tetapi juga merekam perjalanan intelektualnya sejak tahun 2022 hingga 2024. Selama dua tahun terakhir, ia tidak hanya menulis dan menjawab berbagai sanggahan dari pembela Ba’alwi, tetapi juga melakukan perjalanan ke berbagai daerah untuk menghadiri seminar, diskusi, dan ceramah ilmiah terkait nasab Ba’alwi. Ini adalah bentuk komitmennya untuk membongkar kepalsuan sejarah dan memberikan pemahaman yang lebih jernih kepada masyarakat.

Perjalanan ilmiah ini tentu tidak mudah. Tantangan dan tekanan datang dari berbagai pihak yang merasa kepentingan mereka terancam. Namun, KH Imaduddin tidak gentar. Baginya, ini bukan sekadar persoalan akademik, tetapi juga bagian dari upaya menjaga kemurnian sejarah dan membongkar kepalsuan yang telah bertahan lebih dari 550 tahun.

Dengan terbitnya buku ini, perdebatan mengenai keabsahan nasab Ba’alwi dipastikan akan memasuki babak baru. Sejarah yang selama ini diterima begitu saja tanpa kritisisme akhirnya diuji dengan metode ilmiah yang objektif. Kini, masyarakat memiliki kesempatan untuk menilai sendiri apakah klaim nasab ini memang sahih, atau hanya sekadar konstruksi sejarah yang dibangun demi kepentingan tertentu.