Ibnu Hajar Al-Haitami: Keturunan Nabi Asli Mustahil Berzina, Sodomi Dan Kufur: Kuliah Gratis Untuk Kiai Makruf Khozin

Posted by: Kang Diens 10-Jul-2025 Tidak ada komentar

Dalam diskursus nasab Ba’alwi pandangan-pandangan keagamaan dan fatwa Imam Ibnu Hajar al-Haitami (W.974 H.) kerap muncul ke dalam perbincangan di kanal-kanal media sosial. Salah satu isu yang naik ke permukaan adalah bahwa Ibnu Hajar mengitsbat Ba’alwi dalam kitab Tsabat-nya, seperti yang dikatakan oleh Kiai Makruf Khozin.

Dalam kesempatan ini ada beberapa hal yang ingin penulis bagi kepada Kiai Makruf Khozin. Di antaranya adalah bahwa Ibnu Hajar dalam kitab Tsabat itu tidak mengitsbat nasab Ba’alwi tetapi hanya menyebutkan susunan sanad yang ia baca dari kitab Abubakar al-Idrus. Ibnu Hajar mendapat sanad dari murid Abubakar Al-Idrus, di mana Abubakar mempunyai kitab Bernama Al-juz’ullatif kemudian Ibnu Hajar mengutip sanad yang terdapat dalam kitab itu. Penulisan apa adanya dari seorang murid dari susunan silsilah atau sanad guru dalam kitabnya adalah kebiasaan para ulama. Ia menyebutkan apa adanya bukan berarti ia setuju dengan susunan itu tetapi untuk tabarruk (mencari berkah) dan agar diketahui bahwa demikianlah yang disebutkan oleh gurunya.

Pertanyaannya, apakah penulis mempunyai dalil akan proposisi tersebut, yaitu bahwa penulisan sanad guru itu bukan berarti mengitsbat ketersambungannya tetapi hanya tabarruk saja. Jawabannya tentu saja ada, bahkan dalilnya dari kitab Tsabat Ibnu Hajar itu sendiri. Yaitu Ketika Ibnu Hajar mengutip Imam Sakhawi yang menyebutkan sanad tasawufnya bahwa ia mendapatkannya dari Syekh Al-Zain dari Imam Al-Asqolani terus tersambung sampai Sayidina Ali KW. Lalu Imam Sakhawi mengatakan:

وانما اثبت هذا هنا تبركا بذكر الصالحين واكتفاء للمكثرين من أئمة الحديث لا بكوني معتمدا صحة اتصالها بل هي منقطعة في غير ما موضع

“Aku menetapkan sanad guruku di sini karena tabarruk (mencari berkah) dengan menyebut para orang-orang salih dan merasa cukup dengan (kritikan )para orang-orang banyak dari para ahli hadits, bukan berarti aku menetapkan sahihnya ketersambungan sanad itu, bahkan sanad itu terputus dibanyak tempat” (lihat Tsabat Ibnu Hajar Al-Haitami h. 168).

Jadi, jelas bahwa Imam Sakhawi walaupun ia menyebutkan urutan sanad gurunya sampai Sayidina Ali bukan berarti ia mengitsbat bahwa susunan sanad itu sahih tetapi ia hanya mencari berkah saja. Begitu pulalah yang terjadi dengan Ibnu Hajar al-Haitami, ketika ia mengurut sanad dari Abu Bakar al-Idrus sampai Rasulullah, Ibnu Hajar menuliskan sanad itu sesuai dengan tulisan Abubakar Al-Idrus dalam kitabnya bukan berarti ia setuju dengan kesahihan sanad itu. Jadi dengan ini semoga Kiai makruf Khozin menyadari bahwa narasinya yang mengatakan bahwa Ibnu hajar mengitsbat nasab Ba’alwi itu jelas salah. Kiai Makruf Khozin juga harus membaca metode-metode menetapkan nasab dan sarat-saratnya yang terdapat dalam kitab ilmu nasab, di antaranya Kiai makruf Khozin harus memahami bahwa sebuah nasab hanya bisa ditetapkan oleh kitab nasab bukan kitab sanad semacam kitab Tsabat itu.

Kiai Makruf Khazin pula harus memahami bahwa, seandainya pun Imam Ibnu Hajar mempunyai kitab nasab dan dalam kitab itu ia menetapkan sahihnya nasab Ba’alwi, maka nasab Ba’alwi tetap tidak tertolong, karena Ibnu Hajar al-Haitami adalah ulama abad ke-10 H. sedangkan kitab nasab yang ada di abad 6 H. yang dikarang oleh Imam Fakhrudin Al-Razi sudah memutuskan bahwa nasab Ba’alwi ini terputus kepada Nabi Muhammad SAW karena nama Ubaidillah tidak terverifikasi sebagai nama anak Ahmad bin Isa. Imam Fakhrudin Al-Razi itu ulama besar ahli tafsir dan ushul fikih, jika disebut gelar Al-Imam dalam kitab Ushul Fiqih maka maksudnya adalah Imam Fakhrudin Al-Razi. Jika Kiai Makruf khozin mengatakan ikuti yang muhkam maka yang muhkam dalam masalah nasab Ba’alwi yang palsu adalah kitab Imam Fahrudin Al-razi karena ia kitab nasab dan mengitsbat anak-anak Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada yang Bernama Ubaidillah. Sedangkan kitab Ibnu Hajar itu dalam amsalah nasab adalah mutasyabih karena ia bukan kitab nasab.

Jadi jika Kiai Makruf Khazin serius ingin membela nasab palsu Ba’alwi ini maka ada dua yang harus dilakukan oleh Kiai makruf Khozin: pertama ia harus mendatangkan kitab nasab di abad ke-5 hijriyah yang menyatakan bahwa para habib itu benar nasabnya tersambung kepada Nabi Muhammad SAW. Yang kedua, ia harus mau memaksa Riziq Syihab, Taufiq Assegaf, lutfi bin Yahya untuk tes DNA. Jika kitab nasab abad ke-5 dapat dihadirkan dan ketiga orang itu terbukti haplogroupnya J1 maka penulis akan menerima seluruh Ba’alwi sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Jika tidak, maka walau selaut air mata mengalir dari pipi Kiai Makruf Khozin membanjiri mayapada dan seisinya, nasab Ba’alwi tidak akan tertolong.

Ibnu Hajar Al-Haitami pula namanya kerap disebut oleh para Ba’alwi bahwa katanya ia pernah berfatwa bahwa keturunan Nabi yang bodoh lebih mulia dari 70 kiai. Itu adalah kedustaan yang nyata. Mereka berani catut nama Ibnu Hajar agar mereka tetap dimuliakan walaupun bodoh.

Ibnu Hajar tidak pernah mengatakan bahwa seorang syarif yang bodoh lebih mulia dari 70 ulama atau kiai. Bahkan yang terdapat dalam kitab Ibnu Hajar al-Haitami justru sebaliknya: ulama lebih mulia dari seorang syarif yang bodoh. Apabila ada seorang kiai mempunyai anak perempuan yang pintar lalu dilamar oleh seorang syarif yang bodoh untuk anaknya yang bodoh pula, maka anak kiai itu lebih tinggi derajatnya dari syarif yang bodoh tersebut. Anak perempuan kiai ini berhak menolak lamaran syarif yang bodoh itu karena tidak selevel. (lihat dalam kitab Ibnu Hajar Al-Haitami, Fatawa Al-Fiqhiyah Kubra juz 4 h. 101).

Cerita dusta tentang Ibnu Hajar Al-Haitami berkata bahwa seorang syarif yang bodoh lebih mulia dari kiai ini terdapat dalam kitab-kitab Ba’alwi. Sebagai contoh lihat dalam kitab Al-manhajussawi karya Zen bin Ibrahim bin Sumet hal. 385. Lihatlah wahai kibin bagaimana Zen bin Ibrahim bin Sumet berani berdusta atas nama Ibnu Hajar, bahwa katanya Ibnu Hajar berkata seorang syarif yang bodoh lebih mulia dari seorang ulama, padahal Ibnu Hajar tidak pernah mengatakannya. Pertanyaanya untuk apa semua itu dilakukan? Jawabannya agar kalian para kibin tertipu seakan-akan ada ulama besar semacam Ibnu Hajar Al-Haitami yang mempunyai pendapat serendah hawa nafsu mereka itu. Naudzbillah Mindzalik.

Kata Zen bin Ibrahim bin Sumet, pendapat Ibnu Hajar itu terdapat dalam kitab “Fatawi” nya, padahal Ibnu Hajar hanya mempunyai dua kitab Fatawi yaitu Al-Fatawa Al-Haditsiyah dan Al-Fatawa Al-Kubra Al-Fiqhiyyah, dan keduanya tidak ada keterangan sebagaimana dikutip Zen bin Ibrahim bin Sumet itu.

Wahai para kibin, ikutilah ulama yang lurus, bacalah kitab-kitab ulama yang mukhlisin semacam Sultanul Ulama fi Ardi jawah Syekh Nawawi Al-Bantani yang mengatakan bahwa seorang kiai lebih mulia dari seorang syarif yang bodoh 60 derajat (lihat kitab Maraqil Ubudiyah h. 79). Ikuti pula ulama yang tsiqoh semacam Imam Al Bujairimi yang mengatakan yang sama seperti Syekh Nawawi Al-Bantani yaitu bahwa seorang kiai lebih mulia dari seorang syarif yang bodoh (lihat dalam kitab Hasiyah Al-Bujairimi alal Khatib juz 1 h. 42).

Ketika anda, wahai kibin, mempercayai pendapat Ba’alwi bahwa syarif yang bodoh lebih mulia dari 70 ulama, maka anda sedang menghina ajaran Islam yang suci. Anda pula sedang merendahkan diri anda sebagai manusia yang dimuliakan Tuhan YME.

Pendapat Ibnu Hajar Al-Haitami yang lain yang sering dijadikan pembelaan para Ba’alwi dan kibin-kibin nya adalah pendapat Ibnu Hajar bahwa seorang syarif walaupun berbuat zina dan minum-minuman keras maka itu tidak mengeluarkan mereka dari ketersambungan nasabnya kepada Nabi. Padahal kata-kata Ibnu Hajar itu dikatakan sebagai jawaban dari pertanyaan bagaimana jika benar terjadi ada syarif yang nasabnya diyakini sahih secara pasti bahwa ia adalah keturunan Nabi lalu ia melakukan dosa apakah nasabnya tetap tersambung kepada nabi, bukan untuk orang yang mengaku-ngaku tanpa dalil semacam Ba’alwi.

Jika kasusnya semacam para habib-habib Ba’alwi yang nasabnya jelas terputus secara ilmu nasab dan DNA maka perbuatan dosa mereka itu adalah tambahan indikasi yang kuat bahwa memang mereka bukanlah keturunan Nabi dengan pasti. Perhatikan ucapan Ibnu hajar di bawah ini:

ثمَّ إِذا تقرر ذَلِك فمنْ عُلمتْ نسبته إِلَى آل الْبَيْت النَّبَوِيّ والسر الْعلوِي لَا يُخرجهُ عَن ذَلِك عَظِيم جِنَايَته وَلَا عدم ديانته وصيانته، ومِنْ ثمَّ قَالَ بعض الْمُحَقِّقين: مَا مِثَال الشريف الزَّانِي أَو الشَّارِب أَو السَّارِق مثلا إِذا أَقَمْنَا عَلَيْهِ الْحَد إِلَّا كأمير أَو سُلْطَان تلطَّختْ رِجْلَاهُ بقذر فَغسله عَنْهُمَا بَعْضُ خَدَمتِهِ، وَلَقَد برّ فِي هَذَا الْمِثَال وحقق، وليتأمل قَول النَّاس فِي أمثالهم: الْوَلَد الْعَاق لَا يحرم الْمِيرَاث،

“Kemudian jika benar itu terjadi, maka orang-orang yang diyakini nasabnya kepada keluarga Nabi dan Sirril Alawi maka besarnya tindak pidana dan tidak baiknya agamanya tidak mengeluarkan ia dari nasab itu. Maka dari itu Sebagian ulama muhaqiqin mengatakan tidak lah perumpamaan syarif yang berzina atau minum minuman keras atau mencuri, jika kita menghukum mereka, kecuali seperti seorang gubernur atau raja yang kakinya ada kotoran lalu dicuci oleh pembantunya. Dan sungguh telah baik dan benar ia yang membuat perumpamaan. Dan fikirkanlah ucapan orang-orang dalam pribahasa mereka bahwa anak yang durhaka tidak dikosongkan dari harta warisan (Al-Fatawa al-Haditsiyah Ibnu Hajar, h. 199).

Perhatikan kalimat: man ulimat nisbatuhu, artinya orang yang diyakini nasabnya. Bukan orang yang tidak jelas nasabnya semacam Ba’alwi itu. Jika ada orang yang diyakini nasabnya sebagai cucu Rasulullah semacam Sayidina Husain misalnya, lalu ia berbuat dosa minuman keras misalnya naudzubillah, maka tetap itu tidak menggugurkan bahwa Sayidina Husain ini adalah cucu Rasulullah. Tetapi Jika seperti para habib ini, di mana nasabnya telah diyakini keterputusannya lalu ia berzina, sodomi, masuk Kristen, maka semua itu adalah tambahan indikasi yang kuat bahwa memang mereka bukan keturunan Nabi Muhammad SAW.

Bahkan Ibnu Hajar mengatakan bahwa hampir dipastikan keturunan Nabi Muhammad tidak ada yang sampai murtad. Perhatikan ucapan Ibnu hajar di bawah ini:

نعم الْكفْر إنْ فرض وُقُوعه لأحد من أهل الْبَيْت وَالْعِيَاذ بِاللَّه، هُوَ الَّذِي يقطع النِسْبة بَين مَنْ وَقع مِنْهُ وَبَين شرفه صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، وَإِنَّمَا قلتُ إنْ فُرِض لأنني أكاد أَن أَجْزم أنَّ حَقِيقَة الكُفْر لَا تقع مِمَّن عُلِم اتِّصَال نسبه الصَّحِيح بِتِلْكَ الْبضْعَة الْكَرِيمَة حاشاهم الله من ذَلِك،

“Benar demikian, tetapi jika kekufuran diandaikan bisa terjadi kepada keluarga Nabi, naudzubillah, maka itulah yang dapat memutuskan hubungan dengan kemuliaan Baginda Nabi SAW. Aku berkata “jika diandaikan”, karen aku hampir memastikan bahwa sesungguhnya hakikat kekufuran tidak akan terjadi kepada orang yang nasabnya sahih kepada Al-bid’ah al-karimah (Siti Fatimah RA) semoga Allah menjaga mereka dari kekufuran” (Al-Fatawa al-Haditsiyah Ibnu Hajar, h. 199).

Perhatikan, menurut Ibnu Hajar Al-Haitami hampir bisa dipastikan bahwa keluarga Nabi dan keturunannya tidak akan sampai ada yang menjadi kafir masuk ke dalam agama lain. Berbeda dengan kaum Ba’alwi yang mereka ngotot mengaku keturunan Nabi padahal nasabnya sudah jelas terputus dan DNA nya bukan DNA orang Arab, sebagaian mereka terbukti telah keluar dari Islam semacam Thomas Assegaf. (lihat https://khazanah.republika.co.id/berita/sioc0w483/pastor-bermarga-keturunan-baalawi-bikin-geger-rabithah-minta-pembuktian-part3).

Dari ucapan Ibnu Hajar Al-haitami bahwa keturunan Nabi hampir dapat dipastikan tidak ada yang kafir, maka dengan adanya fenomena Thomas Assegaf yang masuk keristen itu mengindikasikan bahwa Ba’alwi ini bukan keturunan Nabi Muhammad SAW.

Ibnu Hajar pula mengutip pendapat ulama bahwa perbuatan dosa semacam perzinahan dan sodomi mustahil dilakukan oleh keturunan Nabi Muhammad SAW. Sedangkan keluarga Ba’alwi telah masyhur di media masa Sebagian mereka berzina, Sebagian lagi minuman keras, Sebagian lagi sodomi dan lain sebagainya. Perhatikan ucapan Ibnu Hajar di bawah ini:

وَقد أحَال بَعضهم وُقُوع نَحْو الزِّنَا أَو اللواط مِمَّن عُلِم شرفُهُ فَمَا ظَنك بالْكفْر،

“Sungguh Sebagian ulama telah mengangap mustahil ada orang yang diketahui secara meyakinkan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melakukan perbuatan zina atau sodomi. Maka bagaimanana pendapatmu tetang kekafiran” (Al-Fatawa al-Haditsiyah Ibnu Hajar, h. 199).

Perhatikan wahai para kibin ucapan Ibnu hajar tersebut. Para ulama menganggap mustahil keturunan Nabi asli sampai berbuat zina dan sodomi. Lalu bandingkan wahai kibin bagaimana kaum Ba’alwi yang kalian kenal, klik google, dan carilah berita tentang mereka, sebagaian mereka ada yang berzina semacam Yusuf Al-kaf di Madura, Toha bin Yahya di Cirebon, Safik Alidrus di Jepara, dll. Sebagian lagi ada yang terkena kasus sodomi semacam Hasan bin Jafar Assegaf, Rayyan Al-Kadri dll.

Dari pendapat ulama yang terdapat dalam kitab Ibnu Hajar itu, bahwa keturunan Nabi Mustahil berbuat zina dan sodomi, maka dapat dipastikan bahwa keluarga Ba’alwi bukanlah keturunan Nabi Muhammad SAW karena di antara mereka banyak yang melakukan perzinahan dan sodomi. Naudzubillah.

Penulis Imaduddin Utsman Al-Bantani