Fardhu Ain Bela Bangsa Dan Negara dan Memerangi Klan Habib Ba Alwi

Posted by: Kang Diens 23-Des-2024 Tidak ada komentar

Penulis: Kgm. Rifky Zulkarnaen

Tanggal 19 Desember ditetapkan sebagai Hari Bela Negara. Hari Bela Negara ditetapkan berdasarkan peristiwa penting yang terjadi pada 19 Desember 1948. Pada hari itu, Indonesia menghadapi Agresi Militer Belanda II yang mengakibatkan penangkapan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta[1].

Mengenai Bela Negara, membela negara hukumnya fardhu ain. Berdasar fatwa Rais Akbar NU, Hadratus Syaikh Hasyim Asyari, disimpulkan: “kewajiban membela negara sebagaimana wajibnya melaksanakan perintah shalat lima waktu bagi umat Islam. Mati dalam rangka membela tanah air dianggap mati syahid, sama dengan mati membela agama”.

Dalam pada itu, Klan Habib Baalwi telah terbukti  secara nyata melakukan pengkhianatan, penyerangan, penjajahan dan melakukan ancaman pada derajat fatal terhadap eksistensi dan keselamatan seluruh Bangsa dan Negara Indonesia (Nusantara) tanpa terkecuali melalui Operasi Klandestin Baalwisasi-Yamanisasi Nusantara. Sedangkan, satu-satunya yang diuntungkan dari Operasi Klandestin Baalwisasi-Yamanisasi hanya Klan Habib Baalwi. Bersamaan dengan itu, hukum membela bangsa dan negara merupakan fardhu ain dan jika mati dalam membela bangsa dan negara, ia mati Syahid.

Oleh karena demikian, wajib bagi seluruh dan setiap warga negara Indonesia, khususnya warga NU,—membela bangsa, negara dan tanah airnya dengan cara melawan Klan Habib Baalwi. Dan andai, umpamanya, ia mati dalam membela bangsa dan negaranya dari penjajahan Klan Habib Baalwi maka ia mati syahid.

Berikut ini penulis ungkapkan dasar-dasarnya.

KH. Said Aqil Siradj (Nahdlatul Ulama)[2]

Mengutip dari NU Online tentang Bela Negara:

Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj menegaskan wajib bagi setiap individu untuk membela negara dan Tanah Air tercinta. “Membela negara hukumnya fardlu ain,” ujarnya di hadapan peserta apel bela negara di markas kolinlamil TNI AL, Jakarta Utara, Sabtu (21/11).

Kewajiban membela negara, kata Kiai Said, sebagaimana wajibnya melaksanakan perintah shalat lima waktu bagi umat Islam. “Ini ditegaskan oleh fatwa Hadratussyaikh KH Muhammad  Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama, kakeknya Presiden Abdurrahman Wahid,” katanya disambut aplaus hadirin.

Doktor jebolan Universitas Ummul Quro Mekah Arab Saudi ini menambahkan, mati dalam rangka membela Tanah Air dianggap mati syahid. “Sama dengan mati dalam membela agama,” tegas Kiai Said.

“Sebaliknya, barangsiapa bekerja sama dan membela penjajah maka halal darahnya dan layak dibunuh. “Mereka tetap muslim, tidak kafir. Tapi boleh dibunuh, halal darahnya. Ini bagi siapa saja yang berkhianat kepada Tanah Air. Itulah salah satu fatwa Mbah Hasyim Asyari dalam Resolusi Jihad yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945,” papar Kiai Said.

Jawaban Mbah Hasyim tersebut, kata Kiai Said, menjawab pertanyaan tentang hukum membela negara dan Tanah Air yang diajukan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan Panglima Besar Jenderal Sudirman melalui seorang utusan yang dikirim mereka.

Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Se-indonesia II Tahun 2006 Mengenai Peneguhan Bentuk dan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia[3]

  1. Kesepakatan bangsa Indonesia untuk membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai ikhtiyar untuk memelihara keluhuran agama dan mengatur kesejahteraan kehidupan bersama, adalah mengikat seluruh elemen bangsa. 
  2. Pendirian NKRI adalah upaya final bangsa Indonesia untuk mendirikan negara di wilayah ini. 
  3. Wilayah NKRI dihuni oleh penduduk yang sebagian besar beragama Islam, maka umat Islam wajib memelihara keutuhan NKRI dan menjaga dari segala bentuk pengkhianatan terhadap kesepakatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) oleh siapapun dengan alasan apapun. 
  4. Dalam rangka menghindarkan adanya pengkhianatan dan/atau pemisahan diri (separatisme) negara wajib melakukan upaya-upaya nyata untuk menciptakan rasa adil, aman dan sejahtera secara merata serta penyadaran terhadap elemen-elemen yang cenderung melakukan tindakan pengkhianatan dan/atau separatisme.
  5. Upaya pengkhianatan terhadap kesepakatan bangsa Indonesia dan pemisahan diri (separatisme) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sah, dalam pandangan Islam termasuk bughat. Sedangkan bughat adalah haram hukumnya dan wajib diperangi oleh negara.
  6. Setiap orang, kelompok masyarakat, lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi yang melibatkan diri, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi, dalam aktifitasnya yang mengarah pada tindakan pemisahan diri (separatisme) dari NKRI adalah termasuk bughat.

Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia VI Tahun 2018 Komisi A Pembahasan Menjaga Eksistensi Negara dan Kewajiban Bela Negara[4]

  1. Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana dinyatakan dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, pada hakekatnya adalah wujud perjanjian kebangsaan (al-mitsaq al-wathani) yang berisi kesepakatan bersama (al-muahadah al-jamaiyah) bangsa Indonesia. Hal itu ditempuh melalui serangkaian perjuangan panjang yang dilakukan oleh para pejuang, terutama para ulama dan umat Islam dari generasi ke generasi. Perjuangan tersebut dilakukan demi mengikhtiarkan terwujudnya tata aturan yang menjamin terpeliharanya keluhuran agama serta kesejahteraan bagi penduduk negara-bangsa ini.
  2. Perjanjian kebangsaan dalam bentuk NKRI berdasarkan Pancasila dengan sila pertama menjiwai sila-sila lainnya, menegaskan religiusitas dan ketauhidan. Perjanjian itu secara syari mengikat seluruh elemen bangsa yang wajib dipelihara dan dijaga dari setiap upaya mengubahnya. Hal itu merupakan manifestasi kecintaan kepada negara dan bangsa (hubb al-wathan) yang merupakan bagian dari keimanan.
  3. Setiap upaya menjaga dan memelihara perjanjian kebangsaan tersebut akan menghadapi tantangan dan ancaman dari dalam dan luar negeri. Hal itu terjadi karena adanya kepentingan dari kelompok masyarakat di dalam negeri, dari suatu negara tertentu, atau dari aliansi kelompok masyarakat dalam negeri dengan negara- negara tertentu karena adanya kepentingan yang sama dan mengancam kelangsungan eksistensi dan kedaulatan negara dan bangsa ini.
  4. Saat ini, era penjajahan fisik telah berlalu, tetapi agresi dalam bentuk lain tetap mengancam, seperti dalam bidang pemikiran, ekonomi, pendidikan, moral, sosial, dan budaya. Berbagai skenario pelemahan eksistensi negara dilancarkan secara sistematis, misalnya dengan melakukan perubahan peraturan perundang-undangan yang secara jangka panjang akan memperlemah negara, dan pengendalian media massa sebagai pembentuk opini publik sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
  5. Dengan dasar pemikiran di atas, harus dilakukan upaya bela negara untuk mempertahankan eksistensi NKRI dengan memperkokoh karakter bangsa dan pilar- pilar kebangsaan, menuju tercapainya kondisi kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan yang baik, demi memperoleh ridha Allah SWT dan terwujudnya masyarakat yang berkualitas (khairu ummah).
  6. Dalam rangka memperkuat negara dan bangsa serta menghindari terjadinya pengkhianatan terhadap perjanjian kebangsaan, perlu dilakukan upaya:
    > Negara wajib mewujudkan kehidupan yang berkeadilan, terutama dalam bidang hukum, ekonomi, sosial, dan politik, sehingga tercipta rasa adil, aman, dan sejahtera secara merata.
    > Setiap warga negara wajib melakukan bela negara, sehingga dapat mengantisipasi segala bentuk ancaman yang datang dari dalam maupun luar, pengkhianatan dan upaya pemisahan diri (separatisme) serta upaya mengubah bentuk negara-bangsa.

Dasar penetapan lihat dokumen Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-indonesia VI Tahun 2018, Majelis Ulama Indonesia Tahun 2018. Hal 7 dst.

Organisasi Muhammadiyah[5]

Membela tanah air adalah kewajiban yang tidak hanya diatur dalam hukum negara, tetapi juga memiliki landasan yang kuat dalam ajaran Islam. Sebagai umat Islam, mencintai dan menjaga negara yang menjadi tempat tinggal serta tempat kita menjalani kehidupan merupakan bagian dari tanggung jawab moral dan agama. Dalam konteks ini, hukum membela tanah air bukanlah sekadar kewajiban sipil, tetapi juga termasuk dalam tuntunan agama yang mendalam.

Selengkapnya: https://pwmjateng.com/hukum-membela-tanah-air/

Pendapat Berbagai Tokoh

KH. Cholil Nafis[6]

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) (2021) bidang Dakwah dan Ukhuwah KH Cholil Nafis mengatakan, di Indonesia antara umat beragama dan mencintai tanah air tidak dapat dipisahkan.

Ia juga mengingatkan, bahwa Indonesia tidak mungkin bisa dipisahkan antara agama dengan nasionalisme. Bila kedua pilar itu berpisah, pasti akan roboh.

Jend (Purn) Ryamizard Ryacudu[7]

Menurut Ryamizard, contoh negara Israel suka ataupun tidak suka negara tersebut ada sesuatu yang harus dipetik yakni kekuatan bela negaranya , sehingga peran umat Islam dalam merebut kemerdekaan dimulai dengan adanya Budi Utomo dan Sumpah Pemuda.

“Kita ini ahli waris yang sah dari tanah air tercinta ini, Islam sangat mendukung bela negara karena tidak bertentangan dengan sunnah dan unsur bela negara itu kesatuan dan persatuan, kemudian keturunan dan cinta tanah air,” ujar Ryamizard

Lebih jauh Ryamizard mengatakan, kesadaran membela negara merupakan sebuah kewajiban yang tidak bisa ditawar-tawar demi menjadikan bangsa Indonesia yang bermartabat terlebih para leluhur kita telah mewariskan ideologi negara yakni Pancasila .

“Kita harus bersyukur sebagai penerus bangsa yang besar ini dan bangga melaksanakan bela negara, karena kalau bukan kita semua siapa lagi,” tegasnya.

Prof. Dr. H. Din Syamsuddin[8]

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI) Pusat Prof. Dr. H. Din Syamsuddin menyatakan Wantim MUI mendukung program pemerintah soal bela negara.

“Wajib bagi seorang Muslim untuk membela negaranya,” kata Din dalam konferensi pers usai Rapat Pleno II Wantim MUI di Kantor MUI Pusat, Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta, Kamis (26/11/2015) siang.

Wapres 2019-2024, KH. Ma’ruf Amin[9]

“Menjaga eksistensi negara dan bela negara merupakan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia, didukung prinsip ukhuwah sebagai pilar penguatan negara kesatuan RI,” ucapnya.

Masalah hubungan agama dan negara adalah hubungan yang saling melengkapi dimana politik serta kekuasaan dalam Islam ditujukan demi menjamin tegaknya syariat dan urusan dunia.

Undang-Undang Bela Negara

Setiap warga negara berhak dan wajib memberi sumbangsih kepada bangsa dan negara dalam tataran bela negara sesuai Hukum dan Peraturan tentang Wajib Bela Negara di Indonesia[10]:

  • UUD tahun 1945 pasal 27 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”;
  • UUD Tahun 1945 Pasal 30 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” dan “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung”;
  • Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 68 tentang Hak Asasi Manusia yang didalamnya memuat “setiap warga negara wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”;
  • Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002, mengamanatkan bahwa sistem pertahanan negara diselenggarakan dengan memberdayakan seluruh sumber daya nasional, yang setiap saat siap didayagunakan.

Definisi Bela Negara

Bela negara adalah tekad, sikap dan perilaku, serta tindakan warga negara, baik secara perseorangan maupun kolektif dalam menjaga kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa dan negara, yang dijiwai oleh kecintaannya kepada NKRI yang berdasarkan Pancasila & UUD 1945 dalam menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dari ancaman.

Upaya bela negara, selain sebagai kewajiban dasar manusia, juga merupakan kehormatan bagi setiap warga negara yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, dan rela berkorban dalam pengabdian kepada negara dan bangsa.

Bela negara tidak semestinya dipahami sebagai “memanggul senjata” atau hal yang berbau “militer”, akan tetapi merupakan kekuatan dinamika kehidupan warga negara di semua aspek kehidupan sesuai dengan profesinya masing-masing. Spektrum bela negara sangat luas, dimulai dari hal yang paling lunak sampai dengan hal yang paling keras, mulai dari hubungan baik sesama warga negara sampai bersama-sama menangkal ancaman nyata musuh bersenjata[11].

Definisi Ancaman

Pengertian sederhana dari “ancaman” adalah niat, pernyataan, situasi, kondisi, tindakan atau perbuatan yang diperkirakan membahayakan atau merugikan. Bila dikaitkan dengan upaya pembelaan negara, maka pengertian ancaman adalah: setiap usaha atau kegiatan baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri langsung atau tidak langsung yang dapat membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa.

Bentuk ancaman yang harus dihadapi dan ditanggulangi dengan upaya bela negara dapat berupa ancaman militer dan ancaman non militer[12].

Ancaman non-militer digolongkan ke dalam ancaman yang berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, informasi dan teknologi, serta keselamatan umum. Contoh ancaman non-militer antara lain the brain war, berupa konflik ideologi, perbedaan keunggulan, persaingan daya cipta dalam percaturan ekonomi, teknologi dan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Bentuk-bentuk ancaman non-militer dapat digolongkan menjadi 2 (dua). Pertama, adalah yang berkaitan langsung dengan dengan pertahanan negara. Kedua, adalah ancaman non-militer yang tidak berkaitan langsung dengan pertahanan negara. Ancaman non-militer yang bentuk ke dua ini merupakan ancaman yang sifatnya tidak secara langsung mengancam kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa. Namun resiko yang ditimbulkan berimplikasi mengganggu stabilitas nasional. Terganggunya stabilitas nasional tidak saja menghambat pembangunan nasional, tetapi lambat laun dapat berkembang menjadi permasalahan kompleks yang yang mengancam kredibilitas pemerintah dan eksistensi bangsa. Dengan demikian dalam melihat ancaman non-militer berdasarkan eskalasi ancaman mulai dari yang ringan sampai dengan tingkatan yang membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan negara dan bangsa.

Menilai Ancaman

Untuk menilai ancaman non-militer dapat dilakukan oleh pemerintah dan atau masyarakat sesuai dengan tingkat eskalasinya[13]. Sebagai anak bangsa, penulis menilai Klan Habib Baalwi telah melakukan penjajahan[14] yang nyata yang masuk dalam kategori forma ancaman non-militer bentuk pertama yaitu ‘berkaitan langsung dengan pertahanan negara’; sesuatu yang secara serius dan fatal mengancam dan membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa; mengancam keselamatan seluruh masyarakat dari suku dan agama apa pun, pemerintah dan eksistensi Bangsa dan Negara Indonesia.

Perlu ditegaskan kembali untuk menjadi kesadaran bersama. Semua elemen bangsa dan negara Indonesia terancam pada tingkatan yang serius dan fatal; terkecuali Klan Habib Baalwi. Klan Habib Baalwilah satu-satunya kelompok yang diuntungkan dari Yamanisasi-Baalwisasi Nusantara yang dilakukan ‘seolah-olah’ oleh oknum Habib.

Seluruh habib diuntungkan oleh Baalwisasi-Yamanisasi tanpa terkecuali: baik habib yang di dalam struktur organisasi NU atau di luar, baik habib agresif-represif atau habib yang tubuh luarnya menampakkan kelembutan; baik yang diam saja tak terlihat atau terlihat; terlibat secara langsung atau tidak langsung; di wilayah geografis Indonesia mana pun; disadari atau tidak disadari; yang sebelumnya tidak tahu kemudian tahu ada Baalwisasi-Yamanisasi Nusantara dan sudah dapat dipastikan mustahil tidak tahu pada situasi saat ini di mana telah berjalan 2-3 tahun gaduh kolosal tanpa henti sehari pun di media sosial—seluruh anggota Klan Habib Baalwi sudah pasti tahu dan ia diam saja tidak menunjukkan Bela Bangsa dan Negara Indonesia dengan cara melawan Klannya sendiri yang melakukan kejahatan  fatal terhadap seluruh Bangsa dan Negara Indonesia sebagai bukti Bela Negara-nya; atau bagaimana pun kita mengkategorikannya; seluruh habib diuntungkan tanpa terkecuali oleh Baalwisasi-Yamanisasi yang dilakukan Klan Habib Baalwi.

Epilog

Pada konteks situasi saat ini ditulis, penulis belum melangkah pada apakah apa yang Klan Habib Baalwi lakukan masuk dalam kategori tindakan yang pelakunya dihalalkan darahnya atau tidak. Mengingat dan menimbang spektrum situasi—adanya beragam bentuk bela negara dan beragam bentuk perang yang dapat ditempuh berdasar spektrum situasi; akan diungkapkan pada kesempatan lain. Namun yang pasti hukum fardhu ain bela bangsa dan negara tidak dapat digugat.

 


[1] https://fahum.umsu.ac.id/info/hari-bela-negara-19-desember-makna-dan-perjuangan/#:~:text=Sejarah Hari Bela Negara 19,dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.
[2] https://nu.or.id/nasional/kiai-said-membela-negara-hukumnya-fardlu-ain-4sLs7
[3] Lihat dokumen Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Se-Indonesia II Tahun 2006 tentang Peneguhan Bentuk dan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
[4] Lihat dokumen Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-indonesia VI Tahun 2018. Majelis Ulama Indonesia Tahun 2018. Hal 7 dst. Dapat pula dibaca di https://news.detik.com/berita/d-4051579/bahas-masalah-kebangsaan-ini-hasil-ijtimak-ulama-se-indonesia
[5] https://pwmjateng.com/hukum-membela-tanah-air/
[6] https://mirror.mui.or.id/berita/31246/kh-cholil-nafis-di-indonesia-agama-dan-cinta-tanah-air-tidak-bisa-dipisahkan/
[7] https://www.kemhan.go.id/itjen/2017/08/23/menhan-bela-negara-sesuai-ajaran-islam.html
[8] https://hidayatullah.com/berita/nasional/2015/11/27/84028/din-syamsuddin-bela-negara-wajib-bagi-seorang-muslim.html
[9] https://www.antaranews.com/berita/708413/ijtima-ulama-mui-hasilkan-24-fatwa
[10] WIRA, Media Informasi Kementerian Pertahanan Edisi Khusus Bela Negara. 2016. Puskom Publik Kemhan.
[11] https://www.kemhan.go.id/pothan/2024/06/12/pembinaan-kesadaran-bela-negara-bagi-mahasiswa
[12] Dr. Ir. Zainal Abidin, MS., Djoko Poernomo, Sip, MM., Dra. Endang Iryanti, MM., Dr. Lukman Arif, M.Si. Buku Ajar Pendidikan Bela Negara. 2014. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. September. hal 35.
[13] Dr. Ir. Zainal Abidin, MS., Djoko Poernomo, Sip, MM., Dra. Endang Iryanti, MM., Dr. Lukman Arif, M.Si. Buku Ajar Pendidikan Bela Negara. 2014. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur. September. hal: 41-42.
[14] https://rminubanten.or.id/klan-habib-baalwi-dulu-antek-penjajah-belanda-kini-penjajah-bangsa-nusantara/