Oleh: Didin Syahbudin
Dalam tradisi keislaman, para sayyid—yang dikenal sebagai keturunan murni Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidah Fatimah dan Sayyidina Ali—dikenal menjadi simbol kehormatan dan keistimewaan. Namun, dalam era genetika modern, seperti paper yang ditulis oleh Anatoly A. Klyosov dan Ramazan G. Luguev (di antara beberapa karya Klyosov yang telah dipublikasikan sejak 2008) sebanyak 18 halaman ini, seperti mengajak kita untuk meninjau ulang narasi tersebut melalui data DNA para sayyid. Terus terang saya tertarik untuk mengetahui bagaimana data STR (short tandem repeat) pada kromosom Y mengungkap kompleksitas garis keturunan para sayyid. Sederhananya, STR digunakan oleh para ahli DNA untuk membedakan individu layaknya sidik jari. Teknik ini sangat berguna dalam forensik, penentuan hubungan keluarga, dan studi asal-usul populasi.
Metodologi dan Temuan Utama
Paper penelitian data para sayyid ini, Klyosov dan rekan-rekannya menggunakan dua set marker genetik—25 dan 37 penanda—untuk menyusun pohon haplotipe yang mencakup sampel dari tiga kelompok, yaitu:
Dalam keterangannya, para peneliti menggunakan laju mutasi sekitar 0,00183 per penanda per generasi, penelitian ini menghitung waktu munculnya nenek moyang bersama (MRCA) dengan hasil margin kesalahan yang cukup besar (hasil yang berbeda). Temuan mereka menunjukkan dua garis keturunan paralel:
Penelitian ini juga membandingkan data dari komunitas Yahudi, dimana “modal haplotipe Cohens” mengindikasikan MRCA mendekati era Abraham (data genetiknya lebih tua lagi). Perbandingan ini menegaskan bahwa pembentukan identitas etnis dan kultural berlangsung dalam konteks sejarah yang kompleks dan paralel.
Konsep Monogenetik dan Realitas Genetik
Dalam narasi tradisional, para sayyid dianggap monogenetik, yakni seluruh anggota kelompok tersebut diyakini memiliki satu nenek moyang yang sama secara genetik. Saya mengibaratkan konsep ini dengan sebuah pohon keluarga di mana semua cabang berakar pada satu pohon induk. Namun, data yang diungkap oleh Klyosov dan koleganya menunjukkan bahwa kenyataannya jauh lebih bercabang. Meski sebagian sayyid memang menunjukkan garis keturunan yang mendekati narasi tradisional (monogenetik), adanya cabang dengan MRCA yang jauh lebih tua mengungkapkan keragaman yang berbeda dari klaim monogenetik murni.
Pertanyaannya: Lalu Habaib yang ber-Haplogroup G‐M201 dimana posisinya?
Nah ini yang menarik jika kita mau mencari benang merahnya, Hari ini kita tahu ada kelompok habib yang memiliki haplogroup G‐M201. Mereka juga mengklaim sebagai keturunan Nabi melalui Fatimah dan Ali, tapi ternyata telaah keterangan data genetik menunjukkan bahwa profil mereka faktanya berbeda dari mayoritas populasi Arab yang didominasi oleh J1 (alias tidak masuk kriteria sayyid yang diuji lho), ini faktanya:.
Rasanya sangat logis jika melihat bahwa keberadaan habib yang berhaplogrup G‐M201 justru menambah dimensi baru dalam pembuktian tentang keotentikan garis keturunan (nasab), meskipun faktanya para peneliti genetik tidak memasukannya dalam penelitian sayyid. Konsekwensi logisnya, hal ini menegaskan bahwa klaim habib jelas harus diuji secara spesifik dengan pendekatan yang sesuai, bukan sekedar klaim belaka, karena yang dikenal sayyid secara tradisional di timur tengah saja ternyata hasilnya berbeda (ada yang bukan monogenetik murni).
Kesimpulan
Dari paper kali ini yang ditulis oleh Anatoly A. Klyosov, Ramazan G. Luguev, dan rekan-rekannya, jelas bahwa narasi tradisional mengenai monogenetik para sayyid sangat bisa ditinjau kembali secara genetik. Hasilnya ada kelompok yang menunjukkan MRCA yang sesuai dengan era Nabi, juga keberadaan cabang dengan nenek moyang yang lebih tua.
Kemudian perbedaan genetik yang ditunjukkan oleh genetic para habib dengan haplogroup G‐M201, mengungkap kompleksitas baru yang tidak bisa dibiarkan. Hal ini mengajak kita untuk membuka ruang dialog antara data ilmiah dan nilai-nilai tradisional, sehingga identitas dan legitimasi harus dilihat secara komprehensif, tidak hanya dilihat dari klaim garis darah, melainkan juga dari konteks science, sejarah dan kultural yang lebih luas.
Referensi Ilmiah: