“Ulama besar, Ibnu hajar al-Haitami, ahli fikih Madzhab Syafi’I, yang keilmuannya sudah tidak diragukan lagi, telah menulis dalam kitabnya al-Tsabat, bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa. Kalau tidak percaya ini kitabnya, Pak hakim.”
“Imam Ibnu Hajar al-Haitami, ulama abad keberapa?”
“Abad ke-10, Pak Hakim.”
“Loh, WKP Ahmad bin Isa abad ke-4, Ibnu Hajar abad ke-10, bagaimana Ibnu hajar dapat mengetahui kejadian abad keempat. Dari mana beliau dapat informasi itu?”
“Apakah Pak Hakim tidak percaya ulama sekaliber Ibnu Hajar? Apakah Pak hakim menuduh Ibnu Hajar berdusta?”
“Loh, ini pengadilan, Pak. Kita mencari kebenaran. Perlu bukti dan saksi. Bukan masalah percaya dan tidak percaya. Bisa saja Ibnu Hajar mendapat informasi yang salah, lalu dengan husnuzon menerima berita itu. Apakah ada referensi yang lebih tua selain kitab Ibnu Hajar itu?”
“Ada, Pak Hakim. Dari kitab al-Burqoh al-Musyiqoh karya Habib Abu Bakar al-Sakran.”
“Ulama abad berapa beliau?”
“Abad ke-9, Pak Hakim.”
“Loh, masih jauh, Pak. Dari mana beliau mendapatkan informasi itu, padahal jaraknya sudah 551 tahun?”
“Dari kitab al-Suluk abad 8 Hijriah, pak Hakim.”
“Bagaimana isi al-Suluk itu?”
“Dalam kitab al-Suluk disebutkan silsilah Abul Jadid, Pak Hakim. Dalam silsilah itu ada nama Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa. Nah, Abdullah itu, diyakini oleh Habib Ali al-Sakran sebagai leluhur kami yang bernama Ubaidillah. Gitu, Pak Hakim.”
“Hmmmm…lalu Jadid jadi saudara Alwi, anaknya Ubaidillah?”
“Betul. Pak Hakim cerdas.”
“Jadi, ada silsilah orang bernama Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa. Lalu diyakini Abdullah ini adalah orang yang sama dengan leluhur anda yang bernama Ubaidillah. Lalu, Jadid menjadi saudara dari Alwi bin Ubaidillah. Gitu?”
“Betul sekali, Pak Hakim.”
“Hmmm….lalu, apakah ada kitab yang lebih tua dari al-Suluk yang menyatakan bahwa Jadid punya saudara bernama Alwi?”
“Itu….itu….itu belum ada, Pak Hakim.”
“Lalu bagaimana anda yakin bahwa Abdullah itu Ubaidillah, dan Jadid itu saudara Alwi, jika tidak ada sumber sama sekali?”
“Saya yakin, Habib Ali al-Sakran tidak bohong, Pak hakim.”
“Kita tidak sedang mencari siapa yang berbohong. Kita sedang mencari kebenaran: benarkah Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah. Dari kitab al-Suluk yang anda sebutkan tadi, yang katanya ada nama Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin Isa. Dalam kitab al-Suluk yang saya punya, tidak ada nama Abdullah. Yang ada adalah Jadid langsung bin Ahmad bin Isa. Jadi Habib Ali al-Sakran tidak sah berpatokan kepada kitab al-Suluk ini, karena isi kitab ini berbeda-beda. Apakah anda punya kitab yang lebih tua dari al-Burqoh yang menyebut Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah?”
“Begini, Pak Hakim. Tidak disebut bukan berarti tidak ada.”
“Maksudnya?”
“Iya, Pak hakim. Sesuatu yang tidak disebutkan bukan berarti tidak ada. Ubaidillah walau tidak ditulis sebagai anak Ahmad bin Isa, bisa jadi, hanya karena tidak ditulis. Sebenarnya ia anak Ahmad bin Isa. Bisa jadi kitab yang menyebut itu belum ditemukan.”
“Tidak ditulis bagaimana? Kitabnya tidak ditemukan bagaimana? Wong anak-anak lainnya ditulis. Kitab-kitab nasab banyak ditemukan, menyebut Ahmad bin Isa plus anak-anaknya. Dari abad lima sampai abad sembilan, Ahmad bin Isa disebut di dalam kitab-kitab nasab. Anak-anaknya disebut. Cuma di dalam kitab-kitab itu, tidak disebut Ahmad bin Isa punya anak bernama Ubaidillah. Kalau seluruh kitab abad lima sampai Sembilan semuanya hilang, kalau anak-anak lain gak disebut, wajar ubaidillah tidak disebut. baru kemungkinan klaim al-Sakran itu betul. Tapi ini kan, kitab-kitabnya ada. Kitab nasab banyak. Kitab sejarah banyak. Menyebut Ahmad bin Isa. Menyebut anak-anaknya: Muhammad, Ali dan Husain. Lalu kenapa Ubaidillah tidak disebut? Itu karena Ubaidillah memang bukan anak Ahmad bin Isa.”
“Tidak bisa begitu, Pak Hakim. Kitab-kitab yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa banyak. Bisa ratusan, Pak hakim. Ulama-ulama besar yang menyebutkan. Seperti Ibnu Hajar, Al-Sakhawi, al-Nabhani, dan sebagainya. Masa mereka semua berbohong, Pak Hakim.”
“Saudara saksi, apakah menurut anda Ibnu hajar, al-Sahawi, al-Nabhani itu maksum?”
“Tidak, Pak Hakim. Yang, maksum hanya Nabi.”
“Berarti ada kemungkinan salah?”
“Betul, Pak Hakim.”
“Nah, kalau begitu, ada kemungkinan, mereka mendapatkan informasi yang salah lalu ditulis dalam kitab mereka, kan?”
“Gak mungkin salah, Pak hakim. Mereka ulama besar. Pak Hakim berarti sudah su’ul adab kepada para ulama besar.”
“Saudara saksi terlapor, jaga etika di pengadilan! Ini bukan masalah adab. Ini masalah mencari bukti bahwa Ubadillah itu benar anak Ahmad bin Isa. Saya minta anda bawa kitab yang abad kelima yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad, ada?”
“Tidak ada, Pak hakim”
“Abad enam?”
“Tidak ada, Pak Hakim.”
“Abad tujuh?”
“Tidak ada, Pak hakim.”
“Abad delapan?”
“Itu tadi al-Suluk, Pak hakim.”
“Tidak bisa, itu kitab menerangkan Jadid. Bukan menerangkan Alwi bin Ubaidillah. Lagian kitab itu manuskripnya ada berbagai versi. Di versi punya saya, gak ada yang namanya Abdullah. Kitab lainnya?”
“Gak ada, Pak Hakim.”
“Oh, jadi yang pertama menyebut Habib Ali al-Sakran, gitu?”
“Iya, Pak hakim.”
“Habib Ali al-Sakran itu turunan Ubaidillah?”
“Betul, Pak Hakim.”
“Saudara saksi, apakah anda seperti saya, bermadzhab Syafi’i?”
“Alhamdulillah, Pak Hakim. Saya Syafi’I asli. Yakni…yakni…Ahlussunnah, Dzahiron wabatinan.”
“Apakah saudara saksi mengerti, bahwa seseorang tidak boleh bersaksi atas ayah dan kakeknya?”
“Maksud Pak Hakim?”
“Begini. Dalam madzhab Sayafi’I, seseorang tidak boleh bersaksi atas ayah atau kakeknya. Sedangkan Habib Ali al-Sakran, tadi saudara katakan, adalah keturunan Ubadillah.”
“Betul, Pak Hakim.”
“Berarti ia tidak bisa menjadi saksi nasab Ubaidillah.”
“Maksud Pak Hakim?”
“Kedudukan kitab al-Burqoh karya Habib Ali al-Sakran kan sebagai saksi nasab Ubaidillah. Seluruh kitab-kitab setelahnya yang banyak itu, mengambil referensi dari Ali al Sakran. Sedangkan ia tidak bisa menjadi saksi nasab Ubaidillah, karena al-Sakran adalah keturunan Ubaidillah. Dalam madzhab Syafi’I, seseorang tidak bisa menjadi saksi bagi ayah atau kakeknya. Maka kitab al-Burqoh ini tertolak menjadi saksi bagi nasab Ubaidillah.”
“Innalillah, Lalu gimana, Pak Hakim?”
“Menurut saya, memang sangat sulit dikatakan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad. Kitab-kitab setelahnya itu hanya taklid pada al-Burqoh itu, sedang ia tanpa referensi dan tertolak karena termasuk saksi keluarga.”
“Walau kitab-kitab itu jumlahnya ratusan, Pak, Hakim?”
“Walau jumlahnya ratusan. Bahkan seribu kitab atau sejuta kitab, tidak bisa dijadikan saksi karena ianya tidak bisa menunjukan bukti ketersambungan itu. Semuanya mentok mengambil dari al-Burqoh al-Musyiqoh atau al-jauhar al-Sayafaf.”
“Walau ditulis oleh para wali, Pak Hakim?”
“Walau ditulis oleh rajanya para wali, ndak bisa.”
“Maaf, pak Hakim. Apakah masih ada cara lain kami bisa meununjukan bahwa Ubaidillah adalah anak Ahmad bin Isa?”
“Ada.”
“Apa, Pak Hakim.?”
“Test DNA.”
“Gak mau, Pak Hakim. Gak boleh.”
“Gak boleh ama siapa?”
“Ama pimpinan kami”
“Yaudah, kalian sudah tertolak secara kajian pustaka. Test DNA gak mau. Kalian jangan ngaku keturunan Nabi Muhammad Saw.”
“Waduh jangan begitu, Pak Hakim. Kami sudah ratusan tahun terkenal sebagai anak-cucu Nabi Muhammad Saw.”
“kalian diminta bukti pustaka gak bisa bawa. Test DNA gak mau. Lalu berdasar apa orang bisa percaya bahwa kalian cucu Nabi Muhammad Saw.”
“Kan bisa husnuzon, Pak Hakim.”
“………..”