Oleh: R.Tb. M. Nurfadhil S.Sos., M.A
Dalam rekonstruksi sejarah awal Banten sering muncul klaim bahwa João de Barros—sejarawan Portugis—menyebut nama Falatehan (varian: Faletehan, Falatetan) sebagai pemimpin di Banten pada pertengahan 1520-an. Klaim ini perlu dikoreksi secara historiografis. Telaah sumber menunjukkan bahwa João de Barros tidak mencatat nama Falatehan; rujukan Barros dalam karya-karya modern yang membahas ekspedisi Portugis berkaitan dengan perjalanan dan tindakan armada Portugis (mis. kegagalan mendirikan benteng di pelabuhan Sunda), bukan dengan penyebutan tokoh bernama Falatehan.¹
Nama Falatehan memang muncul dalam tradisi penulisan Portugis, tetapi sumber-sumber yang menyebutkannya adalah penulis lain, terutama Gaspar Correia (dalam Lendas da Índia), serta Diogo do Couto dan Francisco d’Andrada, yang sekaligus menjadi saluran tersendiri bagi narasi-narasi lisan atau laporan pelaut yang sampai ke tangan penulis-penulis Portugis kemudian.² Narasi-narasi ini menggambarkan Falatehan sebagai seorang Islam dari Pasai yang berkelana, sempat menjadi kadi di Jepara, menikahi kerabat istana, dan lalu diterima di Bantam/Banten sebagai tokoh yang memimpin atau menjadi “tuan kota”.³
Namun, pada bagian penting lain dari narasi Portugis tersebut terdapat kesalahan toponimi: beberapa penulis (termasuk Couto dalam bagian yang dikutip) mengidentifikasi Calapa (var. Calappa, yakni Sunda Kalapa — pelabuhan yang kemudian dikenal sebagai Jayakarta/Jakarta) dengan Bantam/Banten. Kesalahan ini tercatat dan dikritik dalam historiografi: teks-teks Couto kadang menulis Calapa atau Sunda sebagai Bantam, sehingga runtutan peristiwa terdistorsi dan menimbulkan kebingungan tentang lokasi kejadian.⁴
Bukti bahwa ini merupakan kesalahan (bukan penyamaan tempat yang disengaja) dapat dilihat dari beberapa fakta: (a) sumber-sumber Portugis yang lebih awal dan lebih dekat waktu peristiwa—seperti Tomé Pires dan catatan kru Portugis kontemporer—membedakan antara Sunda Kalapa dan Banten; (b) penulis modern yang mengkaji manuskrip Portugis (mis. S.K. Rouffaer, Brandes, de Haan) mengoreksi pembacaan Couto dan menunjuk bahwa penggantian nama terjadi karena faktor salin-menyalin dan interpretasi yang salah; serta (c) perubahan nama dan status pelabuhan (mis. munculnya nama Jayakarta setelah 1527, serta cepatnya transformasi politik di pantai barat Jawa) membuat kronologi lisan menjadi terbelit ketika ditulis bertahun-tahun kemudian.⁵
Secara ringkas:
- João de Barros dicatat sebagai sumber terkait ekspedisi Portugis (mis. kegagalan mendirikan benteng; rujukan ke peristiwa 1527 dan keputusan kembali ke Malaka), tetapi tidak sebagai sumber penyebutan nama Falatehan;¹
- Nama Falatehan ada di narasi Portugis lewat Gaspar Correia, Couto dan Francisco d’Andrada;²
- Diogo do Couto dan beberapa penulis Portugis lain membuat kesalahan toponimi dengan menuliskan Calapa/Sunda Kalapa sebagai Bantam/Banten; koreksi atas kesalahan itu disorot oleh para editor dan sejarawan modern, sehingga narasi Couto harus ditafsir ulang secara hati-hati;⁴⁻⁵
- Penyebab kesalahan: jarak waktu antara peristiwa dan penulisan, penggunaan laporan lisan/saksi sekunder, praktik penyalinan manuskrip, serta perubahan nama/identitas pelabuhan dalam periode pasca-1527.⁶
Catatan Kaki
- Rujukan ke João de Barros (Décadas da Ásia) dalam kajian modern umumnya berkaitan dengan kronik Portugis tentang ekspedisi ke pantai barat Jawa (mis. kegagalan Francisco de Sá membangun benteng dan kembalinya armada ke Malaka). Barros menulis karyanya pada pertengahan abad ke-16 (Décadas diterbitkan mulai 1552), sehingga ia melaporkan peristiwa secara retrospektif; namun tidak ada bagian dalam dekade yang memuat nama Falatehan sebagai pemimpin Banten. Lihat: João de Barros, Décadas da Ásia (edisi modern).
- Narasi yang menyebut nama Faletehan / Falatehan ditemukan dalam karya-karya seperti Gaspar Correia, Lendas da Índia, dan juga dicatat dalam bagian tertentu karya Diogo do Couto dan kronik Francisco d’Andrada; lihat ringkasan narasi dalam Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten, hal. 81–82.
- Deskripsi Falatehan dalam narasi Portugis: asal Pasai, perjalanan ke Mekah, pengangkatan sebagai kadi di Jepara, hubungan perkawinan dengan keluarga istana, dan pengiriman/keberadaannya di Bantam/Banten; ringkasan cerita ini dicatat di Djajadiningrat (hal. 81).
- Kritik terhadap penempatan Calapa menjadi Bantam dalam tulisan Couto dan sumber Portugis lain telah dicatat dalam footnote dan komentar historiografis (lihat catatan bawah halaman pada Djajadiningrat, serta rujukan ke S.K. Rouffaer, Brandes, de Haan). Dalam karya modern para pengkaji naskah menyatakan bahwa Couto menulis bagian ini pada akhir abad ke-16 dan mengandalkan laporan sekunder sehingga terjadi kesalahan toponimi.
- Bukti internal: perbandingan antara teks-teks Portugis (Pires, Barros, Correia, Couto) dan kronik Jawa (Carita Purwaka / Babad Cirebon/Banten) menunjukkan inkonsistensi lokasi dan kronologi; para editor modern merekomendasikan berhati-hati menafsirkan Couto tanpa koreksi. (Lihat diskusi di Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, hlm. 81–82; rujukan tambahan ke studi-studi filologis tentang naskah Portugis).
- Faktor penyebab: (a) penulisan bertahun-tahun setelah peristiwa, (b) sumber lisan dari pelaut/agen dagang yang rentan kesalahan ingatan, (c) praktik penyalinan manuskrip yang dapat mengubah toponimi, (d) dinamika cepat perubahan nama pelabuhan (contoh: Sunda Kalapa → Jayakarta setelah 1527; munculnya pusat baru di Banten). Semua faktor ini disebutkan secara ringkas dalam kajian kritis Djajadiningrat dan komentar-komentar filologis yang dikutip di situ.
Daftar Pustaka (pilihan):
- Barros, João de. Décadas da Ásia. (Edisi modern).
- Correia, Gaspar. Lendas da Índia.
- Couto, Diogo do. Décadas da Ásia (lanjutan).
- d’Andrada, Francisco. Kronik dan laporan-laporan Portugis.
- Djajadiningrat (Hoesein). Tinjauan Kritis tentang Sajarah Banten, hlm. 81–82.
- Pires, Tomé. Suma Oriental (edisi Cortesão).
- Rouffaer, S.K.; Brandes; de Haan — komentar dan koreksi filologis pada teks Portugis (lihat catatan kaki Djajadiningrat).