Oleh: Didin Syahbudin
Tangerang, 22 Maret 2025 – Jika klaim garis keturunan Ba’Alwi tidak memiliki keterkaitan historis dengan Rasulullah SAW, maka fenomena ini dapat dikategorikan sebagai oligarki genealogis—di mana status sosial dan keistimewaan diwariskan hanya berdasarkan klaim nasab yang tidak dapat diverifikasi secara ilmiah. Islam mengakui pentingnya silsilah dalam konteks sejarah, namun tidak membenarkan penggunaannya sebagai alat legitimasi untuk memperoleh status istimewa tanpa bukti yang sahih.
Pengagungan terhadap nasab yang tidak memiliki dasar yang jelas dapat menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat. Dalam sistem semacam ini, individu atau kelompok tertentu mendapatkan penghormatan dan pengaruh hanya karena mereka mengklaim berasal dari garis keturunan figur penting di masa lalu. Jika klaim tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dalam aspek sosial, politik, atau ekonomi, maka ini bukan hanya penyalahgunaan sejarah tetapi juga bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.
Berbagai kajian ilmiah yang dilakukan oleh KH Imaduddin Utsman al-Bantani, Prof. Dr. Menachem Ali (filologi), Dr. Sugeng Sugiarto (genetika DNA), serta beberapa akademisi lainnya telah mengungkap ketidaksinambungan historis dalam silsilah yang diklaim oleh Ba’Alwi. Penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya bukti kuat yang mendukung hubungan mereka dengan Rasulullah SAW. Jika temuan ilmiah ini diabaikan demi mempertahankan mitos sosial, maka umat Islam akan terus berada dalam jebakan oligarki berbasis nasab yang menghambat prinsip meritokrasi dan keadilan.
Kultus terhadap garis keturunan seperti ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh garis nasab, melainkan oleh ketakwaan dan amal kebaikannya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Keturunan Nabi memang layak dihormati, tetapi penghormatan tersebut harus dibatasi dalam koridor yang sesuai. Menghormati nasab tidak boleh berujung pada kepatuhan buta yang membenarkan segala hal tanpa dasar kebenaran. Jika suatu klaim telah terbukti tidak valid, maka mempertahankannya tanpa alasan yang kuat hanya akan menyesatkan masyarakat.
Sudah saatnya umat Islam meninggalkan fanatisme terhadap klaim keturunan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan kembali kepada ajaran Islam yang sejati—yakni menilai seseorang berdasarkan integritas, ilmu, dan kontribusi nyata kepada masyarakat, bukan sekadar klaim genealogis tanpa bukti yang sahih.
Referensi: