Retrospeksi Tentang Gus Baha dan Ulama-Ulama Kita

Posted by: Kang Diens 19-Feb-2025 Tidak ada komentar

Penulis: Kgm. Rifky Zulkarnaen

Penulis salah satu orang yang riang gembira dengan munculnya Gus Baha pertama kali di medsos. Seingat penulis pertama kali beliau viral pada medio tahun 2017-2018. Situasi saat itu pemahaman agama masyarakat kacau, berantakan, dan psikologi masyarakat mengalami pengerasan.

Wacana publik yang awalnya dikuasai wacana “semua bid’ah, apa-apa bid’ah”, bertambah menjadi “semua bid’ah, semua wajib”. Sedikit-sedikit murtad, kafir, masuk neraka. Sedikit-sedikit “takbir!” yang penggunaannya bukannya untuk mengagungkan Allah melainkan untuk mengintimidasi dan meneror masyarakat. Sedikit-sedikit penistaan agama, sedikit-sedikit halal darahnya, sedikit-sedikit persekusi, sedikit-sedikit teror. Kasus speaker masjid, pembakaran bendera HTI, khilafah, teriakan demo hampir setiap hari, dan lain sebagainya, penuh sekali hidup ini dengan kekacauan. Fenomena-fenomena itu kemudian memperkenalkan penulis dengan konsep “Religious Trauma”.

Situasi itu disebabkan oleh terlalu panjangnya masa di mana medsos dikuasai kelompok FPI, HTI, Wahabi, dan kroni-kroninya; mimbar-mimbar ceramah agama dan televisi dipenuhi orang-orang bodoh yang bicara agama. Artis, komedian, selebgram, bicara agama dengan tatanan ilmu dan pikiran yang amburadul. Asal terkenal, asal fasih bicara dan dengan sedikit bumbu berbahasa arab, asal busananya sak udeng-udeng ban vespa, maka ia diyakini publik apa yang diucapkannya pasti kebenaran dan kebaikan. Berkelindan dengan penetrasi awal medsos dan kepentingan ekonomi sebagian masyarakat, pelaku industri serta kepentingan politik, konten-konten agama dimanfaatkan sebagai dagangan di medsos dan televisi. Terjadilah komodifikasi agama. Kacau, buruk dan berantakan sekali situasi paradigma masyarakat saat itu.

Secuplik cerita. Itu termasuk juga menyusup ke internal keluarga penulis, tiba-tiba semua jadi wajib. Sudah tidak ada yang mubah, tidak ada yang sunnah, pokoknya semua wajib. Yang makruh juga sudah tidak ada, semua jadi haram. Gradasi hukum mengalami penyempitan paradigma hanya menjadi dua: kalau ndak wajib, ya haram. Di masyarakat juga begitu, yang sunnah jadi wajib, yang makruh jadi haram, tak jarang yang wajib jadi mubah atau sunnah, yang mubah jadi wajib, dan seterusnya kewolak-walik. Ketegangan psikis merebak di mana-mana.

Di situasi itu, PBNU (Kyai Said Aqil) dan nahdliyyin kultural berjibaku mengatasinya. Wacana Islam Nusantara dimunculkan, Jihad Medsos digalakkan, dan beragam upaya lainnya. Dalam observasi penulis, NU dan Muhammadiyah tertinggal jauh dalam eksplorasi dan utilisasi medsos dibanding kubu Transnasional. Itu satu hal yang penulis sangat sayangkan dan sangat sedihkan. Ke mana ulama-ulama Nusantara? Ya, ulamanya ada, di pesantren, jadi maksud saya yang masuk di medsos. Mbah Nun, Emha Ainun Najib, ada dengan Maiyahnya namun tidak menyentuh ranah fiqh—karena memang bukan konsentrasinya—dengan dalil yang ndakik-ndakik ala kroni-kroni Transnasional. Ia ibarat oase dan pohon tempat berteduh yang aman bagi manusia-manusia yang tidak sholeh-sholeh amat dan tidak alim-alim amat di tengah keras dan tajamnya kekacauan dan serangan-serangan itu. Ada perasaan sedikit putus asa menelusup di hati penulis.

Di tengah agak putus asa itu, Pop! Gus Baha muncul di medsos. Dengan kefasihannya di ranah fiqh dan tafsir, Gus Baha menyeimbangkan situasi, menata kembali pemahaman, dan mencairkan pengerasan dan meredakan ketegangan psikis masyarakat. Menghadirkan kembali kewarasan, kegembiraan, senyum dan tawa dalam paradigma, dialog dan praktek beragama.

Pada tahun 2023 awal, ketika Gus Fuad dan Kyai Imad muncul ke permukaan, penulis melihat tanda-tanda dari berbagai penjuru arah bahwa ini titi wanci arus balik Nusantara. Dari momen itu hingga kini terungkap data-data ilmiah dan berbasis riset hasilnya menyatakan: Habib bukan cucu Nabi, Habib orang Arab saja bukan apalagi cucu Nabi, Habib adalah Cucu Yuya Dukun Firaun haplogrup G, Walisongo bukan Baalwi, Islam di Nusantara bukan dari Yaman dan bukan disebarkan oleh Klan Habib Baalwi, bahwa 94% masyarakat Nusantara terindikasi sangat kuat dzurriyah Walisongo hasil dari strategi dakwah Walisongo melalui darah perkawinan ratusan tahun, bahwa Klan Habib Baalwi adalah Imigran Yaman antek penjajah Belanda mulai dari kudeta Kesultanan Banten hingga pasca Perang Jawa Pangeran Diponegoro.

Fakta-fakta terkini itu berbeda dengan apa yang sebelumnya diungkapkan Gus Baha tentang Klan Habib Baalwi dan Walisongo. Demikianlah, orang sealim Gus Baha pun bisa keliru. Kekeliruan itu bukan berasal dari kekeliruan cara berpikir dan bukan dari iktikad hati yang jahat melainkan berasal dari input atau sumber literatur yang diperolehnya menyajikan data yang keliru. Tatkala input yang masuk merupakan data yang salah, metode berpikir dan iktikad hati sebaik apa pun tetap akan menghasilkan output kesimpulan yang salah pula. Garbage in, garbage out.

Memangnya Gus Baha tidak meneliti kok bisa sesembrono itu? Kemungkinan besar, itu video lama Gus Baha di masa pra-tesis Kyai Imad. Di mana pada saat Gus Baha mengucapkan apa yang diucapkannya di masa lampau itu, beliau belum meneliti secara holistik dan komprehensif—bahan yang beliau peroleh pun seadanya itu sebagaimana kita semua pada saat itu, jangan disamakan dengan keadaan saat ini. Tak luput pula Kyai Said Aqil pun pernah menyebut habib pemimpin MCA sebagai min ahlil bait. Sebelumnya pun, masyarakat luas dengan keliru menggunakan kata ‘habib’ sebagai sinonim ‘dzurriyah Nabi’.

Perlulah disadari, melakukan penelitian sedalam dan sedetail Kyai Imad itu tidak mudah. Selain bahan-bahannya yang saat itu sulit didapat, masih pula harus meneliti kebenaran masing-masing kitab, meneliti dengan detail dari kitab yang satu ke kitab yang lainnya, menambah kesulitan itu. Membutuhkan ketelatenan, waktu, energi, dan kecermatan yang luarbiasa menelusuri data-data apalagi ditambah adanya interpolasi di sana sini yang dilakukan Klan Habib Baalwi. Jika Anda seorang penulis, pengajar, dan pendidik sekaligus peneliti, Anda akan mengerti betapa tidak mudahnya melakukan apa yang dilakukan Kyai Imad. Bagi yang tidak percaya, silakan buktikan saja lakukan penelitian di bidang yang lain dan tuangkan dalam bentuk buku (kitab).

Kalau sekedar menulis, siapa saja bisa. Menulis dengan kualitas buruk, sangat mudah. Menulis dalam kadar kualitas yang tinggi, susah. Menulis di bidang yang bahan-bahannya sulit didapat, ketambahan dengan adanya interpolasi di sana-sini, meneliti satu per satu, lalu menuangkannya dalam sebuah risalah ilmiah berkualitas tinggi, tingkat kesulitannya menjadi sangat ekstra. Maka tak heran dan dapatlah kita maklumi ulama-ulama kita, meski dikenal sebagai wali, melakukan pula kekeliruan-kekeliruan dalam bab Klan Habib Baalwi dan Walisongo. Sekali lagi, karena bahan inputnya sulit diperoleh dan prosesnya rumit.

Apakah kekeliruan-kekeliruan itu menurunkan kemuliaan beliau dan ulama-ulama kita? Tidak, selama ketika menjumpai kebenaran tetap berendah hati menerima kebenaran itu dan menginsafi bahwa dirinya dan kita semua adalah manusia yang berpotensi salah karena belum mempelajari dan meneliti betul.

Kita dan mereka manusia, bukan nabi, apalagi rasul, apalagi Tuhan. Sekalipun orang alim, sekalipun andai ia benar wali, tetap ia bukan nabi. Yang bukan wali, jangan diwali-walikan. Apalagi orang gila, lebih-lebih jangan diwali-walikan. Yang wali, jangan dinabi-nabikan, apalagi dituhan-tuhankan. Yang nabi dan rasul pun jangan dituhan-tuhankan.

Seringkali masyarakat Nusantara berpikir semacam itu sangatlah ragu apalagi mengartikulasikannya. Padahal, itulah kebenaran. Padahal, memposisikan ulama-ulama kita sebagai Nabi atau bahkan sebagai Allah Yang Maha Tahu Segalanya bukanlah pujian melainkan hinaan, pelecehan dan fitnah yang keji bagi mereka. Yang benar-benar wali, tahu betul, sadar betul, ia bukan Nabi, dan ia bukan Allah Yang Maha Tahu Segalanya. Sejumput pun dia tidak akan berani berlagak sebagai nabi, apalagi berlagak sebagai Allah Yang Maha Tahu Segalanya, di hadapan manusia; atau bangga ketika ia diitsbat sebagai nabi dan Gusti Pengeran oleh manusia. Wah, ndak, wali yang benar wali, pasti akan menolak, mustahil menerima, dan mati-matian menolak. “Gila apa aku berani dan bangga menyama-nyamakan diri atau disama-samakan dengan nabi bahkan disama-samakan dengan Allah Yang Maha Tahu Segalanya? Wah, nggak. Yang Tuhan itu Allah, Yang Rasul itu Muhammad Saw. Laailahaillallah Muhammad Rasulullah. Walam yakullahu kufuwan ahad! Laisa kamitslihi syaiun! Gusti iku tan keno kiniro, tan keno kinoyo ngopo!” Kira-kira begitu artikulasi bahasa keadaan jiwa-jiwa mereka. Justru kesempurnaan penghormatan kita kepada ulama-ulama kita adalah ketika memanusiakan mereka bukan menabikannya apalagi menuhankannya.

Cukuplah datuk Klan Habib Baalwi, Faqihil Muqaddam, yang memborong pengakuan bahwa derajatnya lebih dari Nabi Muhammad Saw sekaligus mengaku sebagai Allah. Dan cukuplah Klan Habib Baalwi dan budak-budaknya yang mengikuti Faqihil Muqaddam.

*tulisan ini untuk memenuhi aspirasi Mas Luthfi Gresik dan secara umum untuk anak-anak Nusantara.